Bab 15 - Waktu Tinggal Sedikit

452 71 7
                                    


Semakin hari sikap Ibu kepada Maria semakin keras. Ia tidak pernah membentak ataupun memukul Maria, karena Arya pasti akan langsung pasang badan melindungi adik angkatnya, tetapi ibu menunjukkan ketidaksukaannya kepada gadis itu dengan mengacuhkannya sama sekali.

Ia tidak pernah lagi mempedulikan ujian-ujian Maria dan kegiatan sekolahnya. Padahal Maria kemudian berhasil masuk ke kelas unggulan yang terdiri dari siswa-siswa paling pandai di HBS dan bisa lompat kelas lagi setelah belajar hanya satu tahun. Ia sama sekali tidak menunjukkan kebanggaan sebagai orang tua.

Hari ulang tahun Maria yang ke-16 malah digunakannya untuk mengingatkan kakek bahwa Maria sudah semakin dewasa dan sudah sewajarnya mulai dicarikan jodoh.

"Ibu bilang apa kepada Kakek?" tanya Arya dengan nada suara ditahan, ketika ia pulang dari Ciwidey setelah menunaikan tugasnya bersih-bersih di sana. Ia tidak ingin meninggikan suara kepada ibunya sendiri, tetapi sungguh, perbuatan ibu kali ini sudah keterlaluan.

"Kenapa? Ibu hanya mengatakan yang sebenarnya. Sepupumu Widuri sudah dipingit dan umurnya baru 14 tahun. Maria sudah terlalu lama beredar di luar, seharusnya di umur segini dia sudah dinikahkan. Umur 16 Ibu sudah menikah dengan ayahmu."

Ibu mengigit bibirnya saat menyebut-nyebut tentang ayah.

Ah... pasti luka di hatinya kembali terbuka.

Ia menikah dengan Raden Panji karena dijodohkan dan suaminya adalah satu-satunya pria dalam hidupnya, dan ia sangat mencintai laki-laki itu sejak pertama kali bertemu di hari pernikahan mereka 20 tahun yang lalu.

Seluruh hidupnya diabdikan untuk suaminya dan keluarga kecil mereka, dan ia merasa sangat kehilangan ketika suaminya meninggal demi menyelamatkan Maria. Seandainya Raden Panji tidak meninggal, ibu masih dapat menolerir masa lalu suaminya dan bahkan kehadiran Maria dalam keluarga mereka.

"Ibu... ayah sudah berjanji akan memberikan pendidikan yang layak untuk Maria. Kakek juga sudah mengizinkan, dan kami mengadakan perjanjian. Sampai sekarang aku masih melakukan bagianku. Ibu jangan memaksa menjodohkan Maria dulu. Kumohon, Bu..." Arya menyentuh tangan ibunya dan meremasnya pelan, berusaha melunakkan hati ibunya. "Ibu tahu Maria tidak akan bisa melayani suami yang menuntutnya ini itu... Dia bahkan tidak bisa mengatur hidupnya sendiri dengan normal... Mereka hanya akan membuatnya menderita."

Ibu tidak menjawab. Ia tahu Arya benar. Sejak dulu Maria memang kesulitan berkomunikasi dengan orang di luar keluarga mereka. Gadis itu sering larut dalam dunia dan pemikirannya sendiri. Ia tidak akan dapat menikah seperti gadis normal tradisional di zaman itu. Laki-laki yang menjadi suaminya harus sangat mengerti bahwa Maria itu berbeda.

Maria juga sangat cerdas dan sering kali mereka tak dapat mengerti jalan pikirannya.

"Lalu menurutmu siapa yang bisa mengerti dia?" tanya Ibu dengan nada menyelidik. "Jangan bilang dia tidak akan pernah menikah. Itu akan menjadi aib sangat besar bagi keluarga kita."

"Beri Maria waktu..." Suara Arya mulai terdengar memelas. "Maria masih belum dewasa. Dan kita harus mencari orang yang bisa memahami dia, baru aku rela melepaskan Maria untuk keluar dari rumah kita."

"Perempuan itu bukan untuk dipahami, melainkan memahami. Tugas perempuan itu ya mengabdi kepada suami, dan melahirkan anak-anak..." Ibu masih berkeras. "Justru kalau dipingit, Maria bisa belajar menjadi istri."

"Ibu.. kalau Ibu masih memaksa agar Maria dipingit dan kemudian dijodohkan, tidak menghargai perjanjian yang kubuat dengan kakek, maka jangan salahkan aku kalau aku tidak bisa lagi tinggal di rumah ini."

Akhirnya Arya menyerah. Sedari tadi ia berusaha membujuk ibunya dengan kata-kata lunak dan sikap baik, tetapi ibunya sangat keras kepala dan menyimpan dendam yang besar. Ia tak mengira wanita yang melahirkannya ke dunia ini dapat menjadi begitu pendendam.

Padahal Maria sama sekali tidak bersalah.

Arya masih menghormati ibunya dan tidak meninggikan suaranya, tetapi kata-katanya yang dipenuhi kekecewaan cukup membuat Ibu tercenung.

"Baiklah, kau menang..." cetus Ibu tiba-tiba saat melihat Arya hendak pergi. "Sesuai perjanjian. Begitu Maria lulus HBS..."

Maria yang hendak masuk ke ruang tamu tercenung mendengar kata-kata ibu dan mengurungkan langkahnya. Ia mengerti apa yang sedang dibicarakan Arya dan Ibu. Air matanya menetes tanpa suara saat ia kembali ke kamarnya.

Ia masuk di kelas unggulan dan tahun ini ia dapat ikut ujian kelulusan. Begitu ia lulus HBS, masa depannya akan menjadi gelap.

Arya menghela napas panjang mendengar kata-kata Ibu dan mengangguk, lalu masuk ke kamarnya. Ia mengerti maksud Ibu. Maria akan segera lulus HBS dan ia pun akan segera dipingit. Waktunya tinggal sedikit untuk memikirkan cara menyelamatkan Maria.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang