Bab 33 - Ayo Pindah Ke Batavia

151 40 3
                                    

"Jika kau menikah akan ada yang mengurusmu?"

Itu lagi. Selalu itu saja alasannya keluarga besar menyuruh Arya menikah. Klise sekali.

Rasanya Arya mau kabur saja membawa Maria keluar dari perkumpulan keluarga ini. Ia melirik ibunya juga yang menanti jawaban dari Arya. Sepertinya Ibunya juga memiliki keinginan yang sama. Agar ia cepat menikah sehingga ada yang akan mengurusnya selama di Batavia.

"Tidak juga. AKu sudah membuktikan aku bisa merawat diriku sendiri. Selama di CIwidey beberapa tahun terakhir aku belajar banyak. Mulai membersihkan rumah sendiri hingga memasak. Aku tak perlu orang lain untuk mengurus hal remeh seperti itu. Aku tidak manja," jawabnya percaya diri membuat sang kakek tertawa begitu juga beberapa bibinya.

Sedewasa apa pun Arya menganggap dirinya, mereka semua masih melihat anak itu sebagai anak kecil. Arya yang menjadi cucu laki–laki satu-satunya tak akan pernah merasakan kesusahan yang sesungguhnya. 

Meskipun Arya dulu sempat memasak dan membersihkan kediaman kakek tetapi melakukannya sendiri untuk setiap hari selama bertahun-tahun akan terasa berbeda. Arya kan selama ini hanya melakukan tugas ini di akhir pekan saja. Itu juga beberapa kali banyak dibantu oleh pelayan lain.

"Melakukannya sendiri di akhir pekan saja dan melakukannya sendiri setiap akan terasa berbeda, Arya. Kau tetap akan membutuhkan istri untuk membantumu sehingga kau bisa lebih fokus belajar di sana nanti," ujar pamannya yang lain.

"Kakek setuju dengan pamanmu."

Arya kini beralih kepada sang kakek. "Tidak dengan pembicaraan ini lagi, Kek."

"Baik-baik ... Kakek mengerti." 

Perbincangan keluarga itu kini beralih kepada salah seorang sepupunya yang akan dinikahkan juga. Mereka telah menjodohkan sepupunya itu dengan seorang wedana yang sama yang datang melamar Maria beberapa waktu lalu.

Arya menggeleng tak percaya. Ia hanya diam karena sepupunya itu menerima perjodohan tersebut dengan tangan terbuka. Meskipun begitu, Arya bisa tahu bahwa senyum yang ia tunjukkan tersebut bukanlah senyum tulus.

Setelah pembicaraan tentang perjodohan sepupu, beberapa sanak keluarga yang tinggal tak jauh dari kediaman kakek izin untuk pulang. Sebelum mereka pulang, sekali lagi mereka mengucapkan selamat atas lulusnya Arya masuk ke sekolah kedokteran. Arya akan menjadi calon dokter pertama di keluarga mereka. Maka dari itu mereka menunjukkan rasa bangganya.

Kini tersisa Maria dan Ibu yang duduk bertiga di ruang tamu. Kakek sendiri sudah masuk untuk beristirahat. Ibu tengah duduk menatap langit malam, Maria menyampirkan selendang kepada wnaita itu dan Arya berdiri bersandar pada tiang yang juga memandangi langit malam.

"Ibu, apakah ibu akan tetap berada di rumah sendirian?" tanya Arya tiba-tiba.

"Hm?" Wanita itu menoleh ke arah anaknya yang menatap langit malam. Senyumnya terukir melihat seidkit persamaan wajah sang anak dan mendiang suaminya. 

"Apa yang sedang kau pikirkan Arya?" tanya Ibu.

"Aku akan sekolah di Batavia selama beberapa tahun ke depan. Sekalipun kembali ke Bandung, mungkin hanya beberapa kali saja dalam setahun, tidak akan sering. Aku khawatir akan Ibu dan Maria."

Ibu tertawa kecil. "Apa yang kau khawatirkan? Ibu akan baik-baik saja. Tak usah pikirkan Ibu. belajarlah dengan giat saja."

Ibunya tersenyum lembut ke arahnya tetapi Arya tetap merasa kuatir. Ia adalah laki-laki yang menggantikan mendiang ayahnya untuk menjaga Ibu dan Maria. Jika ia pergi sekarang, maka siapa yang akan menjaga Ibu nanti? Mungkin ada pelayan lain yang akan membantu kebutuhannya tetapi hidup sendiri dalam kesunyian juga adalah sebuah siksaan.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang