Bab 23 - Tahun Terakhir Di HBS

278 55 3
                                    


Tahun baru pelajaran telah dimulai. Kegagalan Maria dalam ujian kelulusan cukup mengejutkan keluarga Adinata juga orang-orang yang mengenal Maria di sekolah sebagai anak genius.

Mener Timmer juga sempat bertanya kepada Maria tentang hasil ujiannya namun gadis itu hanya menjawab seadanya jika saat menjalani ujian kondisinya sedang tidak baik.

Apa pun itu alasannya, Arya dan Hermand sangat senang karena mereka memiliki kesempatan satu tahun lagi untuk memikirkan cara menghindari dipingitnya Maria. Selain itu Arya punya tambahan satu beban pikiran lagi yaitu tentang niat kakeknya yang ingin menikahkannya.

Sejak percakapan di rumah kakek waktu itu bahwa Arya juga harus sudah memikirkan tentang calon istrinya, kakek beberapa kali menyinggung masalah yang sama ketika mereka membicarakan masa depan Arya dan sekolahnya. Keluarga besar Haryakusumah bangga karena Arya masuk kelas unggulan dan guru-gurunya melaporkan kemajuan yang sangat pesat dalam pelajarannya. Mereka yakin Arya dapat kuliah dan menjadi apa pun yang ia inginkan. Mungkin malah sekalian kuliah ke Belanda seperti ayahnya.

Ahh... Arya sama sekali tak ingin memikirkan hal itu. Saat ini, fokusnya adalah tahun terakhir bersekolah Masa sekolah mereka berjalan dengan lancar. Dengan Maria masuk di kelas yang sama dengan Arya, membuat pemuda itu bisa lebih tenang. Mereka bisa berbagi tugas dan belajar bersama lebih sering. Meskipun pada realitanya adalah Arya yang selalu diajarkan oleh Maria karena gadis itu telah menguasai topik mata pelajaran di luar kepala.

"Kelas kalian sudah mempelajari bab itu?" tanya Hermand melihat tugas yang tengah Arya kerjakan.

"Memangnya kelasmu belum?"

Hermand menyodorkan buku yang tengah dibukanya kemudian menunjukkan bab yang terbuka. Kelas Hermand tertinggal dua bab dari kelas unggulan yang Arya dan Maria tempati.

"Ah, setelah sekian lama aku masih iri kepada kalian. Aku juga ingin masuk kelas unggulan!" seru hermand keras membuat beberapa orang di sekelilingnya memberikannya tatapan tajam. Pasalnya kini mereka tengah belajar bersama di perpustakaan.

Arya meminta maaf atas keributan yang Hermand lakukan. Hermand sama sekali tak merasa bersalah. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan mengistirahatkan dagunya di atas tangan sambil memperhatikan tangan Maria bergerak cepat menghitung angka-angka mencari jawaban dari tugas matematikanya.

Dulu, ia sempat protes ke Meneer Timmer dan meminta pria itu untuk memasukkannya ke kelas unggulan yang sama. Namun Meneer Timmer tidak bisa melakukannya karena melihat nilai putra dari residen itu yang bahkan belum mencapai nilai rata-rata.

Akan sangat mencolok jika Mener Timmer memaksakan Hermand masuk kelas unggulan. Meneer bilang belajar dari Arya dan Maria memang adalah ide yang bagus untuk membantu Hermand yang tidak paham akan satu topik tapi Meneer Timmer juga menambahkan bahwa akan lebih baik lagi jika Hermand belajar dengan teman-teman selevelnya karena dengan begitu Hermand bisa menyesuaikan topik pelajarannya.

Belajar bersama Arya dan Maria hanya akan membuat Hermand bingung karena topik kelas unggulan dan kelas biasa akan sangat berbeda.

Hermand pun keluar dari ruang Meneer Timmer dengan kecewa. Arya telah menunggunya di depan ruangan, melihat Hermand yang melewatinya dengan tubuh lesu membuat Arya merasa setengah bersalah. Ia merangkul bahu sahabatnya itu untuk menyemangati Hermand.

"Kau tak perlu memikirkan apa yang Meneer Timmer ucapkan. Kita buktikan bahwa dengan kau belajar dengan kami, kau akan mendapatkan peringkat pertama di kelas."

"Andaikan itu semudah apa yang kau bicarakan."

"Kau tidak mempercayai ucapanku? Aku akan meminjamimu buku catatan yang telah diringkas demi mengejar ketertinggalan. Dan aku akan selalu ada di kelasku jika kau butuh bantuan tentang pelajaranmu."

Hermand menoleh ke arah Arya dan hanya tersenyum sekilas. Bibirnya masih maju beberapa senti yang artinya pemuda itu masih cemberut belum bisa menerima keputusan Meneer Timmer.

Pada saat itu Hermand telah menemukan tujuannya untuk belajar lebih giat. Selama ini ia memang belajar seadanya. Mengerjakan tugas pun jika Maria atau Arya mengingatkannya.

Sama seperti Arya yang sudah menemukan tujuannya untuk menjadi seorang dokter, Hermand telah memutuskan bahwa ia tidak akan dipandang rendah oleh Timmer dalam urusan akademik. Ia akan lulus dengan menjadi peringkat pertama di kelasnya. Sudah cukup ia mendapatkan perlakuan khusus sebagai anak Residen. Pada titik itu juga ia akan mencapai sesuatu dengan usahanya sendiri!

Melihat kobaran api semangat dari mata Hermand membuat Arya ikut gembira.

"Itu yang baru namanya semangat!"

"Mau belajar dimana kita hari ini?"

"Di rumahku saja," ajak Hermand yang segera disetujui oleh Arya.

"Kalau begitu mari kita ajak Maria pulang. Anak itu pasti masih sedih akan ketidaklulusannya."

Semenjak hari itu Hermand perlahan mulai membuktikan ucapannya pada Arya. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan nilai pemuda itu mengalami peningkatan. Begitu juga Arya yang nilainya menjadi tertinggi kedua setelah Maria.

Siapa disangka, dua siswa yang sangat tertinggal dalam pelajaran bisa mengejar ketertinggalan dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa murid mulai iri akan kelompok belajar Maria, Arya, dan Hermand.

Awalnya, beberapa dari mereka menaruh curiga bahwa Maria telah dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas sekolah mereka hingga ujian tengah semester membuktikan bahwa mereka bisa melalui ujian dengan mudah. Nilai yang Arya juga Hermand dapatkan membungkam kecurigaan para murid tersebut.

Kini dua berandalan sekolah telah menjadi mentor kelas masing-masing. Baik Arya maupun Hermand selalu ditanya oleh beberapa murid jika ada topik pelajaran yang mereka tidak paham. Keduanya menjelaskan begitu luwes. Maria sendiri masih sama, sukar untuk didekati. Meskipun Maria terbilang genius namun tak ada murid yang berani bertanya kepadanya.

Meskipun begitu mereka benar-benar menikmati hari-hari di sekolah mereka.

Kini ketiganya tenga berada di perpustakaan untuk mempersiapkan ujian akhir uga ujian kelulusan mereka.

"Ah, seandainya aku belajar seperti sedari dulu pasti aku akan masuk ke kelas anak-anak pandai bersama kalian," gumam Hermand.

"Setelah sekian lama kau masih memikirkannya?" tanya Arya.

"Iya, karena dengan begitu aku bisa mempelajari bab yang sama dengan kalian."

Arya mengetuk buku Hermand. "Selesaikan dulu tugasmu di bab itu, setelah itu aku dan Maria akan mengajarimu bab ini."

Hemrand mengangguk mengerti. Sudah cukup ia merasa lesu. Menjadi pemilik nilai tertinggi di ujian tengah semester kemarin tidak akan membuat Hermand kendur dalam urusan belajar. Ia semakin semangat mengejar Arya dan Maria. Hermand menghembuskan nafasnya panjang dan kembali meraih penanya.

Maria yang selesai mengerjakan tugas Matematikanya menyingkirkan buku sekolah kemudian mengambil sebuah jurnal yang disiapkan di samping. Sebelum membuka jurnal ia melihat ke arah buku Hermand. Ia melihat sepintas dan kedua alisnya berkerut melihat ada sesuatu yang janggal.

"Dua puluh satu," ucap Maria menunjuk ke arah angka angka yang baru Hermand tulis.

"Huh?" tanya Hermand bingung. Ia melihat kembali rumus yang sudah dibuatnya dan menelusuri setaip angka yang sudah dihitung. Hermand menepuk jidatnya melihat kesalahan yang ia buat.

"Ah.... aku salah hitung. Terima kasih,Maria."

Maria mengangguk dan kini ganti menoleh ke ara buku tugas Arya. Ia meelihat sekilas dan semuanya sudah benar. Gadis itu mendongak mendapati Arya tengah memperhatikannya dengan senyum lebar.

"Bagaimana? Ada yang salah, Maria?" tanyaArya begitu bangga. Maria hanya menggeleng kecil kemudian membuka jurnal kembali.

Arya mengelus kepala Maria merasa kemudian menutup buku tugasnya. Kini ia membuka buku pelajaran lain untuk dipelajari. Begitulah keseharian mereka beberapa bulan belakangan ini. Hubungan ketiganya menjadi semakin erat dan tak terpisahkan.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang