6. Dapur

76 10 0
                                    

"PAPA PULANGGG!" teriak Agra saat memasuki rumah. Tak ada jawaban! Mungkinkah anaknya belum pulang sekolah? Perkiraannya ternyata salah! Anaknya sudah pulang sekolah dan sedang duduk manis di depan TV. Ia tersenyum lalu melangkah menghampiri anaknya yang masih cuek dengan kepulangannya.

"Tumben?" cibir Ara saat Papanya duduk di sampingnya dengan tentengan kantung plastik besar yang berisi bahan makanan. "Biasanya inget rumah pas anaknya udah tidur!"

Agra tertawa lalu mengacak-acak rambut putrinya itu. "Maaf deh kalau akhir-akhir ini Papa pulang larut malam terus."

Ara memeluk Papanya erat. Bukan! Bukan dia tak senang atau marah dengan kesibukan Papanya, dia hanya rindu bersama Papanya. Dia tak pernah kenal dengan sosok seorang ibu, yang dia tahu hanya sosok Papa yang bisa menjelma seperti ibu baginya. "Ara kangen," katanya dengan manja. Ya, hanya dengan Papa dan abangnya ia bisa bersikap manja.

Agra mengusap lebut punggung putrinya. "Maaf ya, Sayang."

Ara melepas pelukannya lalu menggeleng. "Aku ngerti kok Pah, Oh yah, Papa bawa apa?"

"Papa mau masak buat makan malam." Agra bangkit lalu menaruh kantong plastik yang berisi bahan makanan itu di dapur. Ia mengeluarkan satu per satu bahan makanannya lalu memilih bahan apa saja yang ia perlukan untuk memasak dan memasukan bahan yang tak di perlukan ke kulkas.

Ara menyusul Papanya ke dapur lalu duduk di bangku mini bar yang ada di dapurnya. "Mau aku bantuin gak, Pa?"

Agra menoleh cepat ke arah putrinya. "Tumben? Biasanya kamu paling gak mau kalau urusan dapur."

"Aku kan cewek Pah, pengen bisa masak juga," dengus Ara. Ya, sebenarnya ia memang paling malas dengan urusan dapur. Terakhir kali ia mencoba memasak tanpa Papanya, keadaan dapur sangat memprihatinkan dan hampir terbakar.

Agra terkekeh. "Jadi siapa orang yang bisa membuat putri Papa tiba-tiba ingin bisa masak?"

Ara hanya mendengus saat mendengar perkataan Papanya. Dilihat Papanya yang mulai sibuk dengan bahan-bahan makanan yang ingin di olahnya. Tanpa sadar ia tersenyum membayangkan satu orang cowok yang pernah dilihatnya berkutat di dapur juga. Ara menggeleng kencang saat menyadari ke mana pikirannya melayang. Astaga! mungkin ada yang salah dengan otaknya.

"Kok malah geleng-geleng kepala, katanya mau bantuin Papa?" Agra ikutan mengeleng melihat tingkah putrinnya.

Ara pun bangkit lalu menghampiri Papanya untuk membantu memasak dan kekacauan pun mulai terjadi.

"Ini ngupasnya gimana, Pah?"

"Astaga! Bukan gitu motongnya!"

"Bawang merahnya gak mau dipotong tuh Pah! Dari tadi mental mulu!"

"Itu mecin buka garam, Ara!"

"Ngapain kamu ngumpet? Itu ikannya dibalik nanti gosong!"

"Astaga! Itu sisik ikannya belum kamu bersihin?"

"Itu ketumbar bukan lada, Ara!"

"Papa minta terigu bukan sagu!"

"Jadi gimana? Kamu masih mau belajar masak?" tanya Agra saat selesai masak. Ia menghela napas saat melihat keadaan dapurnya yang seperti habis diterjang angin puting beliung. Benar-benar bencana dapur!

Ara meringis melihat keadaan dapur yang sangat kacau karenanya. "Masih Pah."

"Oke! Nanti kita belajar lagi kalau Papa libur. Kita masak dari yang mudah dulu."

***

Cakka menghampiri istrinya yang sedang berkutat di dapur untuk membuat makan malam. Di peluknya dari belakang tubuh mungil istrinya itu dan menaruh dagunya di atas pundak istrinya. "Kangen," gumamnya dengan manja.

"Lepas! Kamu ganggu!" Oik coba melepaskan diri dari pelukan suaminya.

Bukannya melepaskan, Cakka malah mengeratkan pelukannya. "Sebentar, Sayang, aku masih kangen."

Vando memutar bola matanya saat memasuki dapur dan melihat tingkah Ayahnya. Tadi Bundanya menyuruh ia untuk membeli bahan-bahan makanan yang kurang di supermarket. "Nih, Bun, bahan-bahan yang kurang tadi!"

Oik menengok lalu mengambil kantong plastik dari diberi anaknya. "Gimana aku mau masak kalau kamu begini?"

Cakka yang merasakan aura dingin dari istrinya langsung melepaskan pelukannya lalu menampilkan cengiran khasnya saat merasa bersalah. Bisa bahaya kalau istrinya marah nanti. "Kamu ngapain masih di sini?" tanya Cakka saat melihat Vando masih berada di dapur.

"Bantuin Bunda masaklah, gak kaya Ayah yang bisanya cuma ganggu," jawab Vando kalem.

Cakka mendengus tak terima. "Cowok kok di dapur!"

Vando menatap Ayahnya datar, sementara Oik tak memperdulikan dua pria yang sedang berdebat itu. Ia tetap fokus ke bahan makanan yang ingin diolahnya.

"Memang ada yang salah kalau cowok di dapur, Yah?" tanya Vando. "Di saat seorang wanita tak bisa melakukan tugasnya di dapur, di saat itulah gunanya seorang pria bisa memasak. Mungkin terlihat sepele, tapi di saat pria bisa melakukan hal-hal kecil yang biasa di kerjakan wanita seperti memasak, cuci piring dan bantu bersih-bersih rumah, di saat itulah beban wanita sedikit terangkat, apalagi yang sudah berumah tangga. Kalau cuma mencari uang, wanita juga bisa."

Oik tertawa dalam hati mendengar ucapan anak bungsunya, sedangkan Cakka hanya mendengus sebal karena merasa tersindir.

"Lihatlah siapa yang bicara? Dia aja masih suka nangis gara-gara robot Superman," gumam Cakka tanpa sadar.

Vando kembali memutar bola matanya. "Ada barang-barang tertentu yang bisa membuat kita mengingat kenangan-kenangan manis, Yah, seperti robot Superman. Bagi kalian itu biasa aja bahkan lebih kekanakan untuk usia aku, tapi bagiku itu pengingat kenangan yang bisa membuatku tersenyum. Aku juga manusia, Yah, yang punya perasaan. Di saat apa yang aku inginkan tak bisa aku dapatkan, di saat itu pula ada rasa kecewa yang membuat aku menangis.

"Mungkin aku gak bisa ngasih tau alasannya, tapi robot Superman itu satu-satunya barang berharga yang mengingatkanku pada suatu kenangan, Yah. Kalian boleh bilang aku manja, cengeng, childish, atau apapun itu, tapi yang harus kalian tahu aku bakal berusaha menjaga dan memiliki apa saja yang aku anggap berharga."

Rasanya Oik ingin menangis mendengar perkataan anak bungsunya. Ia tak menyangka anaknya yang manja itu ternyata bisa berpikir dewasa. Keluarganya memang tak pernah tau mengapa Vando sangat mencintai tokoh superhero itu.

Cakka mengerjap menatap anaknya. Ia benar-benar tak paham dengan apa yang di bicarakan Vando tadi. "Kamu ngomong apa sih?"

Vando sukses melongo mendengar pertanyaan Ayahnya yang ternyata gagal paham. Sudah panjang lebar ia berbicara, tapi Ayahnya malah tak paham dengan apa yang ia bicarakan. "Ngomong mending Ayah duduk anteng aja, jangan ganggu aku sama Bunda masak!"

"Iya, iya!" ketus Cakka lalu meninggalkan dapur.

"Kadang aku gak percaya kalau Ayah itu jenius!" dengus Vando yang sudah kembali ke kegiatan masaknya yang tadi tertunda.

Oik terkikik. "Jangankan kamu, kadang Bunda aja gak percaya."

My Sweet Troublemaker #2Место, где живут истории. Откройте их для себя