17. Dia Lagi?

98 12 7
                                    

Vando mengkayuh sepedanya dengan lambat. Tadinya, Vando ingin menjemput Ara, tapi Ara sudah mengirim pesan terlebih dahulu bahwa ia sudah berangkat dengan sang papa. Pagi ini mood Vando benar-benar kacau, ditambah ia tak bertemu dengan gadisnya. Padahal gadisnya selalu bisa mengembalikan moodnya yang hancur sekali pun. Ia jadi mendadak kangen dengan sapaan ala gadisnya itu.

Jalanan menuju sekolahnya pun tampak sepi. Entah Vando kesiangan atau kepagian, Vando tak peduli. Vando menghela napas. Hatinya benar-benar dongkol saat ini. Apalagi saat ia mengingat kembali percakapan dengan Ayahnya tadi malam.

"Ayah, mengundang teman Ayah untuk makan malam besok," kata Cakka saat mengumpul bersama keluarganya. "Teman Ayah punya anak perempuan, cantik loh, tau aja kamu suka terus jodoh deh."

"Wow, Ka Difa mau di jodohkan, Yah?" sahut Vando spontan. Ia tau Kakaknya yang satu itu dingin dan cuek, bahkan ia tak pernah melihat Kak Difa membawa wanita ke rumah walau hanya dikenalkan sebagai teman.

Cakka menggeleng. "Siapa bilang Ayah mau jodohin Difa?"

"Terus buat siapa dong?" tanya Vando bingung. Setahunya yang masih jomblokan hanya kakaknya.

"Buat kamu," jawab Cakka kalem tanpa tau efek yang akan di hasilkan nanti akibat perkataannya.

"Jangan bercanda, Yah!" Vando berkata tajam. Apa-apaan ayahnya itu! Bukankah ayahnya tau kalau ia sudah punya pacar. Bahkan ayahnya sudah dekat dengan gadisnya. "Aku udah punya pacar, kalau Ayah lupa hal itu! Lagi pula, sampai kapan pun aku gak akan melepaskan gadisku yang sekarang!"

Vando jadi ingat kata-kata yang diucapkan Ara saat pulang dari supermartket kemarin. Demi kerang ajaib, ia hanya mau gadisnya yang saat ini! Itu tuh, gadis galak yang hobi teriak.

"Cantik loh anaknya."

"Aku gak peduli!" kata Vando tegas.

"Pokoknya mau gak mau, besok malam kamu harus ada di rumah!" Cakka pun tak kalah tegas. "Ayah bakal tetap kenalkan kamu sama anak teman Ayah! Lagi pula teman Ayah udah setuju kok kalau anaknya dijodohin sama kamu."

"Ini bukan masalah setuju atau bukan, Yah! Ini masalah hati! Lagi pula ini bukan zamannya Siti Nurbaya!" seru Vando. Ia tak peduli kalau di anggap anak kurang ajar. Ayahnya sudah keterlaluan saat ini, dengan menjodohkannya walau ayahnya tau kalau ia sudah mempunyai tambatan hati.

"Cinta kan bisa datang karena terbiasa." Cakka masih mengompori

"Bundaaaaa!!" rengek Vando pada Oik. Ia berharap Bundanya dapat membantu. Vando menatap Oik dengan raut wajah memohon.

"Yang dibilang Ayah kamu itu benar, Sayang," ucap Oik lembut. Diusapnya kepala Vando dengan sayang.

Vando merengut. Raut wajahnya berubah menjadi dingin. Tanpa kata, ia bangkit lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamar dengan kasar. Bahkan, sampai pagi ini saat sarapan ia masih bersikap dingin dengan keluarganya.

Vando menggeleng, mencoba mengusir ucapan ayahnya yang masih terngiang di telinga. Ia kembali memfokuskan pikirannya ke jalan, tapi tiba-tiba sebuah motor melaju kencang seperti ingin menyerempetnya. Sepeda yang dikendarai Vando oleng. Vando pun jatuh tersungkur. Pengendara sepeda motor itu berhenti lalu menengok ke arahnya sambil mengancungkan jari tengah lalu pergi. Tanpa pengendara itu membuka helm, Vando tau siapa pelakunya. Vando sangat hapal dengan tatapan penuh kebencian itu.

Dia lagi, bathin Vando. Untung Vando sempat menghindar, kalau tidak mungkin ia sudah tergeletak di tanah. Ia yakin, orang itu pasti semakin membencinya karena gagal lagi.

My Sweet Troublemaker #2Where stories live. Discover now