19. Angkot

60 9 0
                                    

Ara membuka matanya dengan paksa saat ia mendengar teriakan sang papa. Dipeluknya kembali gulingnya sambil mencoba memejamkan mata lagi. Tidak bisa! Ia pun kembali membuka matanya. Tiba-tiba pikirannya melayang ke malam tadi. Ia tersenyum saat melihat bunga kamboja di atas nakasnya. Tanpa sepengetahuan Vando, Ara menyimpan bunga kamboja yang diberikan Vando tadi malam. Si Alien memang selalu punya cara tersendiri untuk membuatnya marah dan tersenyum. Hatinya seperti berdesir saat ia mengingat adegan dansa ala Vando.

"Buruan mandi, Sayang, jangan melamun! Nanti kamu kesiangan!" teriak sang papa dari luar, membuyarkan lamunan Ara. Ara berdecak sebal. Ia langsung menyingkap selimutnya lalu bangkit dan melangkah menuju kamar mandi.

Setelah rapi, Ara langsung menghampiri papanya yang sudah berada di meja makan. "Pagi, Pa."

"Pagi, Sayang."

Ara pun langsung memakan sarapannya, nasi goreng dengan telur mata sapi. Masakan sang papa memang tiada duanya.

"Aku berangkat yah, Pa," pamit Ara saat mendengar suara ketukan dari luar rumah.

"Hati-hati, Sayang," kata Agra.

Ara mengangguk lalu mencium pipi sang papa sebelum melangkah keluar.

"Pagi, Nona," sapa Vando riang saat Ara membuka pintu.

Ara tak menanggapi sapaan Vando. Ia malah celingukan, mengedarkan pandangannya ke halaman rumahnya. Tak ada apa pun? Ara menengok ke Vando yang sedang menatapnya bingung.

"Lo gak bawa kendaraan, Alien?" tanya Ara.

Vando mengerjap lalu menggeleng. Digaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Tadi gue nebeng sama Kakak gue, Nona."

Ara mengangguk paham. Mereka pun melangkah menyusuri jalan yang akhir-akhir ini mereka lewati bersama.

"Kaki lo udah baikan, Nona?" tanya Vando.

"Lumayan," jawab Ara singkat.

"Kita naik apa, Nona?" tanya Vando lagi.

"Angkot," jawab Ara kalem. Memangnya mau naik apa lagi selain angkot?

"Angkot?!" seru Vando.

"Kenapa?" Ara mengernyit bingung saat Vando menatapnya tak percaya. Memangnya ada yang salah dengan angkot?

"Kenapa gak jalan kaki aja, Nona?" Vando menawarkan alternatif lain. Seumur-umur, ia belum pernah naik angkot, karena bundanya selalu melarang, dan sekarang gadisnya malah mengajaknya naik angkot? Yang benar saja!

"Lo aja sana jalan kaki sendiri! Gue mah mau naik angkot!" ketus Ara. Ia tak mau olahraga pagi-pagi, apalagi kakinya masih terasa sedikit nyeri.

"Angkot itu bahaya, Nona," kata Vando cemas. "Gimana kalau ada orang jahat? Terus ada yang rape-rape? Cari kesempatan dalam kesempitan! Atau angkotnya oleng gara-gara supirnya ngebut demi kejar setoran? Atau yang paling parah, bisa aja kita diculik kalau angkotnya sepi, terus kita di jual ke luar negeri, gimana? Bahayakan, Nona?"

Kepala Ara berdenyut mendengar kicauan Vando. Kemungkinan yang diucapkan Vando memang masuk akal, tapi mau gimana lagi? Lagi pula mereka bukan anak kecil yang di kasih permen mau. "Yaudah, berdo'a aja!"

"Tapi, Nona--."

"Mau naik angkot bareng gue, apa lo berangkat sendiri?" potong Ara. Haruskah mereka berdebat masalah angkot?

Vando mengangguk lesu. Ia tak punya pilihan lain. Ia tak mungkin membiarkan gadisnya naik angkot sendiri. Tak lama kemudian angkot pun berhenti di depan mereka. Mereka langsung masuk dan berhimpitan dengan penumpang yang lain. Hawa pengap dan panas pun mulai terasa.

"Bang, gak ada AC'nya, Bang?" tanya Vando pada sang supir saat peluhnya mulai membasahi wajahnya.

"Ada kok, Dek. Coba kau geser dikit itu badan mu, lalu kau dorong jendelanya, nanti AC'nya terasa kok, Dek!" jawab supir angkot dengan logat khas Bataknya.

Vando merengut, tapi tetap dibukanya jendela angkot. Semilir angin pun mulai masuk.

"Abang bisa bawa angkot gak sih? Dari tadi ngerem mendadak mulu! Maju, mundur, maju, mundur terus! Mending kalau maju mundur cantik! Ini maju mundur bikin mual!" gerutu Vando.

""Kau tak liat ada penumpang, hah?! Memangnya cuma kau saja yang mau naik angkot!" Supir angkot keki mendengar penumpangnya yang satu itu menggerutu terus. Sang supir angkot pun menambah kecepatan laju angkotnya saat jalanan tampak sepi.

"Huaaaaaa!!" Vando menjerit histeris membuat angkot berhenti mendadak.

"Ada apa?" tanya supir angkot.

"Abang tau gak? Abang itu bawa nyawa manusia loh bang bukan nyawa kambing!" protes Vando.

"Astagaaa! Untung cuma kau saja yang seperti ini! Kalau penumpangku semua sama seperti kau, stress lah aku!" Supir angkot pun kembali melajukan angkotnya. "Dikasih makan apa kau sama mamak kau?"

"Tadi bunda suapin aku nasi goreng, berarti bunda ngasih makan aku nasi goreng tadi."

Supir angkot itu pun tertawa kencang. "Astaga! Wajah saja kau yang tampan, tapi tingkah, kau kalah dengan anak Medan! Memangnya umur kau berapa hah?! Masa makan masih Mamak kau yang suapin!"

"Itu tandanya Bunda sayang sama aku tau, Bang!" Vando merengut tak terima. Memangnya salah kau ia masih suka disuapin? Ayahnya saja suka minta disuapin sama bundanya kok. "Ayah aku aja masih suka minta disuapin sama Bunda, masa aku gak boleh sih!"

Supir angkot makin terbahak. Bahkan penumpang lain tak bisa menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Sementara Ara melengos, pura-pura tak kenal. Demi apa pun, Ara malu! Ingatkan dia untuk tidak mengajak si Alien Sinting itu naik angkot lagi!

"Jangan-jangan kau suka dengan Hello Kitty lagi?" ledek sang supir.

"Kok abang tau sih?" seru Vando membuat sang supir shok. "Abang tau dari mana kalau pacar aku suka Hello Kitty? Abang stalker yah?" tuduh Vando.

Sang supir menepuk dahinya. Ia kira remaja itu benar-benar suka dengan Hello Kitty. "Apalagi itu? Stalker? Abang taunya stiker bukan stalker!"

Vando tak menjawab. Firasatnya mendadak tak enak. Akhirnya Vando dan Ara pun turun. Mereka tinggal menyeberangi jalan untuk sampai di depan sekolah mereka.

Ara melirik Vando yang tiba-tiba terdiam dari di angkot tadi hingga turun. Bahkan Vando menyebrang mendahuluinya dengan tatapan kosong. Mata Ara melotot saat melihat sebuah motor melaju kencang ke arah Vando.

"ALIEN AWASS!"

My Sweet Troublemaker #2Donde viven las historias. Descúbrelo ahora