14. Keponakan

75 11 0
                                    

Ara bangun saat tenggorokannya terasa kering. Ia pun mengambil gelas yang berada di meja nakasnya. Kosong. Dengan malas, ia bangkit dan melangkah menuju dapur dengan mata yang masih setengah terpejam. Ia menuruni tangga perlahan karena tak mau mengambil risiko jatuh dari tangga. Ia ingat, tadi malam Papa ceramah panjang x lebar x tinggi tentang pentingnya menjaga kesehatan semalam suntuk. Kini tubuhnya terasa lebih baik dari kemarin, bahkan tadi malam makanan sudah bisa masuk ke perutnya setelah meminum obat yang telah disiapkan Papa. Hari ini ia pun tidak masuk sekolah karena Papa menyuruh ia untuk istirahat penuh.

Saat sampai di dapur, hidung Ara mengendus aroma sup krim yang begitu menggiurkan. Dilihatnya sosok pria berkaus putih di depan kompor membelakanginya.

Ara mengernyit bingung. Apa Papanya juga tidak masuk kerja? Kalau tidak, kenapa jam segini Papanya masih santai berkutat di dapur?

Entahlah! Ara tak ambil pusing. Ara melangkah menghampiri sosok yang sedang masak itu lalu menyenderkan dahinya ke punggung yang tampak nyaman itu. Matanya kembali terpejam.

"Haus, Pah," kata Ara dengan manja. Tunggu dulu! Ini bukan aroma Papanya. Ara pun menghirup aroma itu sambil mengingat-ingat. Sepertinya ia kenal dengan aroma ini.

"Pah?"

Deg

Itu bukan suara Papanya. Ara langsung membuka matanya tepat sosok itu berbalik menghadapnya. Matanya kini sukses melotot saat mengetahui siapa sosok itu.

"Lo ngapain ada di sini, Alien?!!" teriakkan Ara menggema, menyeruak di dalam rumah.

Vando memgerjap lalu tersenyum lebar dan bertepuk tangan riang. "Horeee! Lo udah bisa teriak, Nona!"

"Gak usah lebay!" ketus Ara saat melihat ekspersi Vando yang berlebihan. "Lo ngapain di sini hah?!"

"Nemenin lo lah, Nona," jawab Vando kalem lalu mematikan kompornya. Hampir saja ia lupa kalau ia sedang memasak.

"Gak perlu! Mending lo pulang sana! Ngapain coba pakai bolos segala hah? Kalau Bunda tau gimana?!" seru Ara. Ia tak habis pikir dengan Alien di hadapannya.

"Bunda tau kok, Nona," jawab Vando. "Lagian ini juga permintaan Papa, mana mungkin gue nolak permintaan calon mertua, Nona."

"Pulang sana!" usir Ara tak peduli. Ia hanya ingin istirahat tenang tanpa gangguan siapa pun.

"Gak mau!" Vando mengambil gelas lalu mengisinya dengan air putih. "Nih, minum dulu, Nona!"

Ara mendengus. Diambilnya gelas itu dari tangan si Alien lalu meminumnya.

"Tadi lo manggil gue apa? Pah?" Vando manggut-manggut. "Gak masalah sih, tapi gue maunya di panggil Daddy sama anak-anak kita nanti."

"Uhuk, uhuk, uhuk!" Ara terbatuk saat tersedak minumannya.

Dengan sigap Vando pun menepuk pelan punggung Ara. "Makanya minumnya pelan-pelan Nona. Jadi, keselekkan."

Ara menghirup udara sedalam-dalamnya saat batuknya mereda. Tenggorokannya kini terasa perih padahal ia hanya tersedak air. Setelah merasa lega, Ara menatap Vando garang. "Kalau ngomong tuh jangan asal nyablak, Alien! Anak-anak kita? Mimpi lo!"

Vando terkekeh. Dia kira karena apa gadisnya tersedak, ternyata gara-gara ucapannya tadi. "Gue gak mimpi, Nona, tapi itu kenyataan, cuma tinggal tunggu waktu aja."

"Hidup itu gak usah kebanyakan berkhayalan deh, Alien! Udah sinting, nambah sinting lo ntar!" ketus Ara.

"Lo salah, Nona!" bantah Vando. "Hidup itu perlu berkhayal Nona, apalagi seorang penulis. Mereka harus banyak-banyak berkhayal untuk menciptakan karya mereka. Manusia itu perlu berkhayal untuk jadi motivasi, tapi manusia juga harus tau batasan, yang salah itu udah berkhayal tinggi-tinggi tapi gak melakukan apapun, cuma bengong doang. Itu baru gak boleh, Nona."

My Sweet Troublemaker #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang