Truth

516 57 0
                                    

Singto memasuki rumah ayahnya dengan tatapan angkuh. Di depan sudah ada mobil keluarga Gigie. Saat dia berjalan ke arah ruang keluarga, Gigie yang melihatnya langsung menghampiri. "Sing, kenapa baru datang?"

"Aku sibuk. Dan menurutmu aku seorang pengangguran?" Jawab Singto datar.

"Sing, jaga bicaramu. Dia itu calon istrimu" peringat Ibu tirinya sambil memandang tajam.

"Memangnya siapa yang akan menikah?" Balas Singto tak kalah tajam. Lalu dia pergi meninggalkan ruang keluarga berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dia mana peduli dengan pernikahan bodoh itu. Bahkan dia tidak mempedulikan sopan santunnya pada orang tua Gigie yang menurutnya sama liciknya.

Singto sangat mengenal mereka. Melakukan berbagai cara untuk memperluas bisnis mereka. Bahkan terakhir yang dia dengar mereka membebaskan lahan secara paksa dari masyarakat pinggiran hanya untuk membangun gedung baru miliknya. Sungguh tidak memiliki rasa kemanusiaan.

"Maaf mungkin Singto sedang pusing memikirkan urusan kantor" ucap ayah Singto dengan senyum canggung. Sedangkan Gigie hanya merajuk, mukanya langsung masam. Kenapa sangat sulit sekali membuat Singto jatuh hati kepadanya.

"Tak apa, kami memaklumi. Perusahaannya memang sedang diincar beberapa investor setauku" ucap Ayah Gigie. Sebenarnya dia agak tersinggung dengan sikap Singto. Namun harus ia tahan, ini kesempatan bagus untuk bisnisnya juga. Jika Gigie berhasil menikah dengan Singto maka dia bisa bekerja sama dengan perusahaan Singto secara mudah. Selama ini dia berusaha mengajukan kerjasama. Namun selalu ditolak. Entah apa yang menjadi pertimbangan dari perusahaan Singto.

"Kau harus bisa meluluhkan hati Singto, Gie" ucap sang Ibu dengan meremat pundak Gigie. Membuat Gigie mengangguk mantap.

"Bagaimana jika kita mulai makan malamnya saja. Biar ayah Singto yang memanggil Singto untuk turun kebawah" Ibu tiri Singto mengatakan itu sambil mengajak tamunya untuk pergi ke ruang makan.

Ayah Singto menghampiri Singto di kamar. "Sing, ayo kita mulai makan malamnya"

Singto yang mendengar dari dalam kamar pun hanya menyahut, "Pho duluan saja. Aku akan menyusul"

"Kau jangan macam-macam Sing. Cepat turun setelah ini"

Singto tidak menjawab apapun. Dia terlalu malas untuk berdebat dengan ayahnya. Sial, dia butuh ponselnya jika begini. Jika tau keadaannya akan secanggung ini dia akan memilih membeli ponsel terlebih dahulu. Singto turun masih menggunakan pakaian kerjanya tadi lalu menghampiri meja makan.

Dia terpaksa duduk di sebelah Gigie karena hanya kursi itu yang kosong. "Sing, aku tadi menelponmu. Tapi kenapa tidak aktif?" Tanya Gigie sambil memegang tangan Singto. Singto menepis tangan Gigie. Sial, dia risih seki dengan wanita ini. Terlalu terang-terangan untuk mendekatinya.

"Ponselku rusak" jawab Singto singkat.

Mereka melanjutkan makan malam dengan hening dan tenang. Hingga saat Ibu Gigie menyeletuk, "Bagaimana jika kita juga membicarakan tentang pertunangan mereka"

"Malah jika bisa. Aku ingin langsung menikah saja dengan Singto. Begitu bukannya lebih baik" ucap Gigie dengan bersemangat.

Obrolan mereka tentang pernikahan maish berlanjut. Hanya mereka yang tertarik dengan pembahasan itu. Namun tidak dengan Singto.

Singto hanya diam tidak merespon apapun. Makan malam dirumah memang neraka untuk Singto. Pembahasan hanya akan tentang pernikahan dan keturunan untuk meneruskan perusahaan. Singto bersyukur bisa membangun perusahaannya sendiri jadi dia tidak terlalu bergantung pada sang Ayah. .

"Sing. Paman berharap bisa bekerja sama dengan perusahaanmu jika kalian menikah. Keuntungan yang kita dapatkan bisa tidak terkira"

Singto yang lelah dengan percakapan omong kosong itupun meletakkan sendok garpu yang dipegangnya dengan sedikit kencang.

MI CASA (Singto x Krist)Where stories live. Discover now