12

854 140 9
                                    

Queen mengatupkan mulutnya menahan tawa mendengar jawaban Ifzan. Di sisi lain, Ander bertambah marah merasa menerima penghinaan dari Ifzan.

"Beraninya Lo!" Pukulan dilayangkan oleh Ander, membuat perkelahian keduanya terjadi. Ifzan membalas pukulan Ander, lebih banyak dan lebih keras. Teman-teman Ander yang melihat sang pemimpin tak berdaya bergerak maju ingin membantu, namun Queen merentangkan kedua tangannya menghalangi.

"Eits, mau kemana?" Tanya Queen dengan wajah yang dibuat polos.

"Minggir bocah!" Bentak Theo kesal, Queen menggelengkan kepalanya pelan.

"Nggak mau." Serunya dengan nada riang, membuat teman-teman Ander merasa gemas ingin mencekik gadis di depan mereka. "Biarin mereka selesaikan masalah sendiri, jangan ikut campur." Tambahnya.

"Queen, minggir!" Desis Raja tajam, sedangkan gadis itu tersenyum manis melihat Raja yang tengah menahan amarah.

"Kak Raja jangan ikut-ikut, nanti kalo kak Raja luka. Queen yang kena amukan Tante Naira!" Ujar Queen ringan, Raja mengernyit tak mengerti. Tante?

"Kak Ander, udah!" Queen membalikkan badannya untuk melihat pertarungan yang belum selesai. Di masa tak berdayanya Ander masih bertahan memukul Ifzan, maka dari itu Ifzan tak menghentikan perkelahian.

Queen berdecak pelan melihat Ara yang berdiri dengan tubuh bergetar, tak lupa dengan air mata yang sudah mengalir di kedua pipinya. "Kak Ifzan!" Dahi Queen berkerut samar mendengar Ara memanggil Ifzan. Dan Queen semakin bingung saat Ifzan menghentikan pukulannya pada Ander yang terkapar di atas tanah. Ara berjalan mendekati Ifzan, menyentuh tangan pemuda itu agar menghadapnya. "Kenapa kak Ifzan mukulin Kak Ander? Kakak masih ada rasa sama aku, jadi mukulin Kak Ander?"

Queen bersedekap dada melihat pemandangan dua pemuda dengan satu gadis di sana, satu pemuda yang terkapar dan satunya tengah berdiri berhadapan dengan sang gadis. Apa kata Ara tadi, rasa?

Ifzan menyentak tangan Ara kasar, membuat gadis dengan rambut sebahu itu meringis sakit. "Kak Ifzan kenapa jadi kasar sama Ara, apa karena suruhan Queen?" Queen semakin tidak mengerti, kenapa Ara dapat berbicara seperti itu pada Ifzan seperti orang yang pernah dekat.

Ifzan tidak menjawab dan menarik tangan Queen untuk menjauh, mengangkat tubuh Queen dengan mudah dan mendudukkannya di atas motor. Setelahnya pergi meninggalkan orang-orang yang sedang membantu Ander yang tidak sadarkan diri. Motor Ifzan terus berjalan membelah keramaian kota, Queen hanya diam enggan bertanya. Sampai di rumah pertama Ifzan, gadis itu turun dari motor dengan sendirinya. Tanpa menunggu bantuan dari sang kekasih.

"Sekarang giliran aku yang bertanya, ingin menjelaskan sesuatu?" Tanya Queen sembari menatap Ifzan tajam.

"Tidak." Jawabnya, melepas helm dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Para pelayan tengah berada di dapur dan taman belakang. Queen mengikuti langkah lebar Ifzan yang sudah terduduk di atas sofa panjang, menutup matanya dengan sebelah lengan.

"Kau sepertinya dekat dengan Ara." Ucap Queen memancing Ifzan berbicara.

"Tidak." Sahut Ifzan, Queen menghela nafasnya panjang.

"Cepat jelaskan sesuatu padaku! Atau aku akan berburuk sangka dan meninggalkanmu." Ancam gadis itu, Ifzan mengusap wajahnya kasar. Membalas menatap Queen dengan mata tajamnya.

"Aku tidak dekat, hanya memang Ara dan Ifzan asli sudah saling mengenal bahkan sebelum dia pindah ke sekolah kita." Jelas Ifzan, "tapi Ifzan asli tidak pernah berbicara padanya, hanya Ara yang selalu mengikuti dan berbicara panjang lebar pada Ifzan." Imbuhnya.

Queen memicingkan matanya, "bagaimana mereka bisa kenal?"

Ifzan mengedikkan bahunya tidak tahu, pemuda itu hendak beranjak menuju dapur. "Kau ingin minum sesuatu amour, jus jeruk?" Tanyanya.

"Jus alpukat lebih baik." Sahut Queen, lalu Ifzan pergi meninggalkan Queen seorang diri di ruang tamu. Gadis itu berdiri, melihat-lihat foto yang terpasang di dinding pembatas antara ruang tamu dan dapur. Ada foto keluarga, dan juga foto masa kecil Ifzan yang sangat menggemaskan. "Zaman ini sudah sangat maju, bahkan ada benda seperti ini untuk menyimpan kenangan." Ujar Queen sembari menyentuh salah satu foto Ifzan yang sedang berfoto dengan piala besar.

Ting!

"Anda benar nona, zaman ini sudah sangat canggih dan pastinya keren!" Sahut Lingling di dalam pikiran Queen.

"Lingling, kenapa kau jarang sekali berbicara? Kau tahu, aku rindu padamu." Terdengar suara dentingan di dalam pikiran Queen, gadis itu tersenyum tipis mengerti arti dentingan itu. Suara dentingan yang terdengar riang adalah suara tawa Lingling di dalam pikirannya.

"Lingling juga merindukanmu nona, tapi Lingling tidak ingin merusak suasana antara anda dan pangeran mahkota." Queen tersenyum tipis mendengarnya.

"Aku merasa tenang saat tahu Ifzan juga jiwa asing dari zaman yang sama, bagaimana denganmu Lingling?"

"Anda tidak salah bertanya seperti itu pada Lingling nona?" Queen mengerutkan keningnya heran, "tentu saja Lingling senang!" Serunya lagi.

"Kau membuatku takut." Gumam Queen pelan, gadis itu beranjak kembali ke duduk di sofa. Saat Ifzan sudah kembali dengan pakaian seragam yang telah berganti dengan jeans hitam dan kaos hitam yang melekat pas di tubuhnya.

"Pelayan belum mengantar minuman?" Queen menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, "aku akan memanggil pelayan lagi." Queen menahan Ifzan agar duduk di sampingnya.

"Nanti saja, apakah kita sedang terburu-buru?" Tanya Queen dengan senyum tipis.

"Tidak, tapi aku takut kau kehausan Amour." Jawab Ifzan sembari menyelipkan anak rambut Queen ke belakang telinga.

"Aku tidak terlalu haus," ucap Queen. "Oh ya, bisakah aku ke kamar mandi?"

"Ingin aku antar?" Queen menatap datar Ifzan, pertanda menolak tawaran pemuda itu. "Aku hanya bercanda, kau bisa lewat sana. Kamar mandi terdekat ada di sebelah dapur, atau ingin kamar mandi di kamarku?"

Queen mendengus kecil, "aku akan melemparimu sepatu jika masih berbicara." Ifzan tertawa pelan, sedangkan Queen segera pergi ke kamar mandi yang sudah ditunjukkan Ifzan.

Beberapa menit berada di dalam kamar mandi, Queen melihat salah satu pelayan tengah mengendap-endap di dapur. Tidak ada pelayan lain selain pelayan itu, kenapa harus mengendap-endap. Mata tajam Queen memperhatikan tingkah pelayan dengan tahi lalat besar di dagunya, matanya memicing saat melihat pelayan itu menaburkan sesuatu di dalam jus alpukat. Setelah pelayan itu pergi, Queen ikut pergi kembali ke ruang tamu. Tak lama salah satu pelayan datang, bukan orang yang sama.

"Maaf tuan muda, persediaan wortel di kulkas habis dan saya harus mengambilnya di kebun." Ujar pelayan itu dengan tubuh sedikit gemetar, apa Ifzan semenakutkan itu.

"Minum Queen!" Ifzan meminum jus wortel miliknya, sedangkan Queen menatap tajam jus alpukat di tangannya.

"Apa kau ada dendam denganku?" Tanya Queen dengan sikap tenangnya, Ifzan menggeleng cepat dan meletakkan gelas berisi jus yang tersisa setengah.

"Kenapa berpikiran seperti itu?" Queen mengedikkan bahunya acuh.

"Siapa tahu kau ada dendam padaku, lebih tepatnya pada raga ini." Sahut Queen acuh.

"Aku tidak sebodoh itu untuk melukai gadis yang aku cintai, apa melintasi waktu membuat kepercayaanmu padaku berkurang?" Queen meminum jus alpukatnya, ia penasaran dengan apa yang ditaburkan pelayan tadi.

"Aku hanya penasaran, pertama ragamu mengenal Ara. Kedua," Queen terdiam sejenak melihat tajam ke arah Ifzan. "Pelayanmu menambahkan sesuatu di minumanku."






Yes I'm QueenNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ