17 - Kangen

88 12 0
                                    

happy readingg!

***

Calla tidak pernah diberi tahu bahwa terdapat CCTV yang dipasang di garasi rumah Nemio. Jika ia tahu, mungkin pada waktu itu ia akan mengurung niat untuk nekat membawa keluar motor.

Bukan hanya ceramah. Calla sudah resmi kena marah. Meskipun sesekali oma membelanya, omelan ayahnya tidak berhenti.

Calla tidak membalas. Ia terlalu malas melawan. Ia benci ayahnya—tidak pernah tidak. Dan kini, suasana hatinya seratus persen buruk. Ia serasa mau mengobrak-abrik isi rumah ini. Sebelum itu terjadi, ia buru-buru keluar dari rumah.

Calla menenangkan diri di luar halaman. Ia sudah melarang siapa pun untuk mengikutinya, termasuk Mama Anna. Bukannya tidak mau, melainkan ia tidak bisa dihampiri saat ini.

"Lo inget waktu gue bujuk lo supaya lo mau pindah ke rumah ini?"

Tanpa menengok, tanpa ada suara itu, Calla sudah dapat mendengar dan mengenal derap langkah Nemio.

"Pergi lo."

Calla melarang, tepatnya mengusir, tapi seperti biasa Nemio semakin mendekat.

"Gue tau lo benci bokap. Makanya gue bilang gue bakal bantu lo sembuh dari rasa benci itu."

Omong kosong. Tai kucing. Mana bisa Nemio bantu soal itu.

"Ini bukan soal dia ngomelin gue keluar bawa motor. Ini soal dia, yang bunuh mental nyokap gue, masih berani-beraninya mikir punya hak untuk ngatur hidup gue."

Tubuh Calla mulai tersendat-sendat. Calla menahan tangis kesalnya. Hal itu membuat Nemio semakin memperirit jarak dengannya. Nemio tampak tidak ragu-ragu melakukan itu, termasuk ketika cowok itu merengkuh bahunya dengan sebelah tangan.

"Lo udah mesti berangkat. Nangisnya jangan sekarang," cetus Nemio nggak ketinggalan ketusnya.

"Gue muak denger ocehan orang itu," gumam Calla, air matanya menetes juga akhirnya. "Lo gak akan pernah bisa bantu gue sembuh. Rasa trauma gue gak bisa disembuhin siapa-siapa."

Omongan Calla lebih terdengar seperti peringatan. Calla tidak mau Nemio bilang padanya bahwa cowok itu akan membantunya. Calla muak dengan harapan. Dari dulu, Calla selalu berharap rasa sakitnya akan sembuh. Namun seiring waktu berjalan, ia semakin yakin semuanya itu tidak akan hilang.

"Lo mau ngapain?" Calla memantau Nemio mengambil jaket dan kunci motornya.

"Anterin lo."

"Nggak usah."

"Gue bakal tetep anterin lo."

Calla kali ini tidak membantah sebab pergerakan Nemio tampak tegas alias tidak bisa dibantah. Kala Nemio menyiapkan motornya, ia mengucek matanya dengan punggung tangan.

"Lo gak mungkin naik ojek sambil pasang muka bengap kayak gitu. Jadi mending gue yang anter," terang Nemio sebelum memasang helm.

Di kondisi seperti ini, Nemio memikirkan segalanya. Segalanya yang sebetulnya tak Calla pikirkan.

"Makasih," ucap Calla dengan suara kecil.

"Maaf," balas Nemio bukan dengan 'sama-sama'.

"Kenapa?"

"Karena lupa kasih tau kalo ada CCTV di garasi. Gue beneran nggak sengaja lupa."

Tubuh Calla terpaku sekejap entah untuk memikirkan apa. Ia kemudian mengangguk, lalu naik ke jok belakang motor Nemio. Yang ia tahu dan percaya, Nemio memang tak mungkin sengaja membuatnya dimarahi. Terbukti dari raut cowok itu ketika ayahnya mengoceh. Nemio sama sekali tidak tersenyum senang.

The Battle I Never WinWhere stories live. Discover now