2 - Nothing

7.8K 820 233
                                    

Maaf membuat kalian menunggu bab ini🙏☺️

Jadi, jam berapa kalian membaca bab ini?

Happy reading 🤗

🫀

Selesai jogging dengan keliling lapangan di komplek perumahan, Dea berjalan santai saat kembali ke rumah. Lari pagi minimal 30 menit setiap hari menjadi rutinitasnya sejak tiba di Jakarta.

"Rajin banget sih adikku ini," ucap Dea sambil tertawa ketika melihat Arga sedang menyiram tanaman.

"Muka bete dibilang rajin. Masih waras kan, Kak?"

"Masih dong. Yang semangat ya kerjanya," ujar Dea seraya menepuk bahu adiknya lalu pergi begitu saja. Ia masuk ke rumah dari pintu samping yang langsung terhubung ke ruang makan di mana Mama Melani berada saat ini.

"Pagi, Ma," sapa Dea dengan senyum.

"Pagi, Kak," jawab Melani yang masih membilas piring.

"Mama butuh bantuan?" tanya Dea.

"Ini udah selesai kok."

"Oke." Dea duduk di kursi dan memperhatikan Mamanya bekerja. Melani adalah gambaran wanita karir di mata Dea. Tidak hanya sukses sebagai ibu rumah tangga, Mamanya juga sukses atas pekerjaannya. Betapa beruntungnya ia dididik oleh Melani.

"Ada apa, Kak? Dari tadi kamu lihatin Mama terus."

"Mama pernah capek nggak jadi ibu rumah tangga?" Ini pertama kalinya Dea bertanya soal itu.

"Pernah dong. Capek itu wajar."

"Tapi, Mama keren loh. Kerja di luar dan masih ngurusin rumah. Kalau aku laki-laki, aku iri banget sama Papa." Melani menggelengkan kepalanya seraya tertawa. Mendengar putrinya berbicara seperti itu, Melani teringat akan masa mudanya dengan Dirga.

"Kamu persis banget kayak Papa kamu. Tukang gombal."

"Aku serius, Ma," sahut Dea.

"Iya, Mama tahu. Sekarang kamu mandi dulu, terus kita sarapan."

Dea berdiri dari kursinya dan hendak berjalan menuju kamar, tapi kedatangan Arga yang wajahnya semakin bete membuat Dea kembali duduk.

"Semuanya sudah disiram? Yang di belakang ada—"

"Done, Ma, done. Semuanya sudah aku siram dan nggak akan ada tanaman Mama yang kehausan sampai nanti sore," jelas Arga membuat Melani tertawa.

"Makasih ya, Arga, anak Mama yang baik hati."

"Sama-sama, Ma. Sebagai balasannya, aku sarapan duluan ya."

"Mandi dulu."

"Ma, Arga udah lapar. Jadi, tolong izinkan anakmu ini makan." Wajah Arga sungguh memelas karena memang ia sangat lapar.

"Mandi sebentar nggak bikin kamu mati kelaparan kok."

Wajah Arga semakin masam. Segelas air putih sudah tandas ke perutnya. "Apa lo lihat-lihat?" tanyanya pada Dea yang duduk di sebelahnya.

"Boxing, yuk! Mumpung gue belum mandi juga," ajak Dea.

"Gue mau cepat makan ya, Kak. Bukan mau cepat mati."

Dea terkekeh mendengar perkataan Arga. Ia menepuk pelan bahu laki-laki itu sebelum masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Letak kamarnya ada di sebelah ruang tengah, menghadap taman samping tempat Mamanya mengelola bunga hias. Jendela kamarnya yang menghadap sinar matahari pagi kadang memberi semangat dan rasa kesal. Dea akan semangat bila tidurnya cukup dan sebaliknya, ia akan kesal dengan cahaya terik matahari saat tidurnya tidak cukup. Melani Triana. Perempuan berstatus ibunya, selalu rajin mendatangi kamarnya tiap pagi untuk menyibak gorden dan membiarkan sinar matahari masuk.

DPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang