07 - Melepas Perhatian

355 64 72
                                    

"Jelaskan!" Tenang. Namun, bukan berarti tanpa emosi. Dalam satu kata tersebut penuh penekanan dan tuntutan.

Hanan sudah membawa Shafira masuk ke dalam rumah. Kini, anak perempuannya itu berdiri di hadapan Hanan dengan Arini di sampingnya. Mereka bahkan belum sempat duduk untuk sekadar menarik napas. Darah Hanan sudah terlanjur mendidih saat melihat Shafira datang hampir tengah malam dan diantar oleh laki-laki.

"Ayok jelasin yang jujur sama Ayah dan Ibu!" Melihat keterdiaman Shafira, membuat amarah Hanan semakin menjadi.

Marah.

Marah karena anak perempuannya itu sudah melakukan kesalahan. Membohongi ibunya, pulang larut malam, dan pergi bersama teman lelakinya.

Bukan Hanan membatasi pergaulan Shafira. Anaknya boleh bergaul dengan semua kalangan dan gender. Akan tetapi, ayah mana yang tidak marah melihat anak perempuannya pulang diantar oleh lelaki di larut malam?

Hanan hanya terlalu takit sesuatu yang buruk terjadi pada Shafira. Terlebih Shafira masih di bawah umur.

Kecewa.

Tentu saja emosi itu hadir dalam benaknya. Apalagi atas kejadian ini, Shafira sudah membuat Arini menangis karena berbohong.

Sebab menurut Hanan, berbohong adalah pangkal semua dosa. Kesalahan yang begitu fatal.

Sedih.

Lagi-lagi dirinya gagal menjaga buah hatinya. Lagi, Hanan mempertanyakan eksistensinya sebagai ayah dan panutan dalam keluarga.

Seingatnya, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik. Berusaha memberikan nasehat dan wejangan yang baik untuk anak dan istrinya.

Namun, ternyata semua itu sia-sia.

Mungkin dirinya memang yang masih kurang memberikan contoh yang baik.

Mungkin memang dirinya yang kurang memerhatikan dan mendidik ketiga anaknya.

Mungkin karena dirinya memang yang tidak becus menjadi ayah dan kepala keluarga.

"Kamu tau sekarang jam berapa?"

"Jam setengah sebelas," jawab Shafira lirih dan bergetar.

"Terus kenapa kamu baru pulang? Hah?"

Shafira dan Arini tersentak saat nada bicara Hanan kian meninggi. Itu pun mengundang Arfan keluar dari kamar si bungsu.

"Yah ...." Arini sedikit menegur. Suara Hanan yang terlanjur keras takut-takut akan membuat kegaduhan.

"Diem, Bu! Anak ini harus dikerasin dulu biar dia sadar seberapa fatal kesalahan dia malam ini."

Namun, percuma saja. Segala perangai buruk Hanan malam ini begitu menguasainya. Alhasil, Arini kembali diam. Membiarkan Hanan yang mendidik Shafira.

Karena Arini juga sama. Terlampau marah, kecewa, dan sedih pada Shafira. Akan tetapi, dirinya masih bisa mengontrol agar amarahnya tidak meledak pada malam ini.

"Shafira," panggil Hanan. "Angkat kepala kamu!" titah Hanan, sehingga Shafira langsung mengangkat kepalanya.

Baru ia lihat betapa memyeramkannya wajah sang ayah saat benar-benar marah. Namun, dapat Shagira lihat bahwa gurat kekecewaan begitu nyata pada wajah ayah dan ibunya.

"Kamu tau gak kesalahan kamu malem ini apa aja?"

Shafira mengangguk pelan.

Hanan menghela napas lelah, menyimpan sebelah tangan kirinya di pinggang dan tangan kanannya memijit pelan pangkal hidung.

Hari ini benar-benar terasa melelahkan.

"Kamu tau udah bikin Ibu nangis?"

Shafira diam.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now