Special Chapter - Anggota Baru

309 51 29
                                    

Kata ayah, jangan pernah menyebut dunia tidak adil, sebab Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya sesuai dengan porsinya masing-masing.

~🌹🌹🌹~

Pernah suatu pagi. Tidak ada sarapan yang dihidangkan di bawah tudung saji. Sedangkan dua orang anak kecil yang telah siap dengan seragam sekolahnya telah menunggu dengan patuh. Berharap ada sebutir nasi yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganjal lapar di pagi hari.

"Ibu lagi sakit. Jadi, hari ini Ayah yang buat sarapannya."

Hanan datang dari arah pintu. Membuat kedua anaknya itu menoleh dengan serempak. Dengan cekatan lelaki dewasa itu menggulung lengan kemeja yang telah rapi sampai ke batas siku dan memakai celemek. Tak apa dia harus bergulat dengan bawang saat penampilannya sudah rapi, karena situasinya yang mengharuskan bekerja cekatan. Kemudian, segera menuju alat dan bahan yang dibutuhkan. Membuka kulkas dan mengambil beberapa bumbu serta sayuran.

Tanpa ia sadari, kedua anaknya mendesah kecewa. Entah kecewa karena pagi harinya tidak memakan masakan dahsyat ibunya, atau kecewa karena justru sang ayah yang memasak untuk sarapan kali ini.

"Abang bisa buat susu sendiri, 'kan?" tanyanya sambil memotong bawang. "Susunya dua, ya. Buat Shafira satu, Ayah gak usah dibuatin."

Bocah lelaki yang berusia sekitar sebelas tahun itu mengangguk tanpa suara. Segera beranjak dan menuju tempat penyimpanan susu. Meraih dua buah gelas kaca dan mulai meracik susu rasa cokelat.

Arfan yang mendapat tugas membuat susu, telah selesai dengan kegiatannya. Membawa dua gelas susu dengan hati-hati ke atas meja makan.

Selama nyaris dua puluh menit. Hanan berkutat dengan minyak panas, irisan bawang, potongan sosis, serta beberapa lembar sawi sebagai pelengkap. Hanya menu masakan sederhana yang ia buat. Tiga porsi nasi goreng kecap ia hidangkan untuk sarapan dirinya dan anak-anaknya.

Mengenai Arini. Dari semalam istri tercintanya itu mengeluh pusing dan mual. Badannya pun terasa lemas katanya, sampai selepas solat subuh pun tidak beranjak dari tempat tidur. Jadi, pagi hari ini, Hanan yang mengambil alih oekerjaan rumah yang biasa Arini lakukan. Dari mulai mempersiapkan diri, memastikan keperluan apa saja yang anak-anaknya akan bawa ke sekolah, dan terakhir membuat sarapan seadanya.

"Ayah bikin nasi goreng aja, ya. Buat bekal kalian, nanti kita beli di jalan."

Hanan ikut bergabung dengan kedua anaknya. Memaruh nasi berwarna cokelat iti di piring masing-masing. Lalu, dirinya masih sibuk dengan beberapa kegiatan lagi.

Si sulung tetap tenang memasakn sarapannya, walaupun ada sedikit gerakan refleks kecil, mengernyitkan dahinya. Bukan karena heran, tetapi ada sesuatu yang yang aneh menyentuh lidahnya.

"Asin ... Yah," rengek si bungsu dengan polos. Arfan yang ada di sebelahnya tentu saja kelabakan. Padahal, sedari tadi ia menahan rasa asin itu untuk menghargai usaha ayahnya.

"Asin?" Segera Hanan menghentikan aktivitasnya, kemudian mencoba mencicipi masakannya.

"Lepehin, Nak. Jangan dimakan!" Hanan menghampiri Shafira, lalu menengadahkan tangannya tepat di bawah dagu Shafira. Sehingga tangannya bisa menampung lepehan makanan dari mulut si kecil.

Ah, mengapa di saat seperti ini, tukang bubur langganannya tidak lewat dan Mbak Marni yang biasa jualan nasi kuning harus pulang kampung? Hanan kan jadi kelimpungan hanya perkara sarapan saja.

Setelah segala drama di pagi hari, Hanan akhirnya memutuskan untuk menghidangkan sereal dan susu saja untuk sarapan. Mau bagaimana lagi, mencari makan pun sudah terlalu siang, yang ada dia dan anak-anaknya akan terlambat.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن