12 - Akan Baik-Baik Saja

301 53 33
                                    

Kebahagiaan Biru sangatlah sederhana.

Sejak kecil, ia bukanlah tipe anak yang akan merengek atau memaksa jika menginginkan sesuatu, bahkan keinginannya tidak pernah muluk-muluk. Tidak membuat Hanan ataupun Arini kesusahan akibat keinginannya.

Tanpa sadar, Biru sebenarnya adalah sosok yang paling mengalah di keluarganya. Sifat ibunya yang seolah turun langsung pada anak itu, membuatnya menjadi anak yang tidak bertingkah laku macam-macam. Selalu menurut, selalu patuh pada apa yang orang tuanya katakan.

Pernah satu waktu, Biru ingin memelihara seekor kucing karena mendengar cerita temannya yang juga merawat kucing. Awalnya, ia tidak berani mengutarakan keinginanya pada ibu dan kakak-kakaknya, terutama ayahnya. Namun, hasratnya pada keinginan ini begitu besar. Sampai-sampai ia selalu sengaja memberi makan atau sekadar mengelus kucing-kucing di jalanan.

Hanan. Kepala keluarga itu yang pertama kali menyadari akan kebiasaan baru bungsunya. Saat itu, Hanan melihat Biru sedang asyik mengelus kepala kucing berbulu putin dan oren. Terlihat mengenaskan dengan tubuh yang kurus dan beberapa luka di tubuhnya. Namun, seolah anaknya itu tidak merasakan jijik, Biru tetap terus memerhatikan kucing itu.

"Ayah perhatikan Biru suka main sama kucing yang di depan. Biru mau memelihara kucing? Nanti kita adopsi, ya kalo Biru mau."

Namun, anak itu menggeleng. Bukan tak suka ditawari hal demikian oleh ayahnya, tetapi ia tidak mau jika keinginannya harus merepotkan ayahnya. Terlebih ia kadung sayang dengan kucing yang sudah ia rawat itu.

"Kalo Ayah izinkan, Biru mau pelihara kucing yang sering datang ke halaman rumah saja, ya."

Kala itu, Biru ragu. Takut ayahnya tidak setuju karena merasa jijik atau tidak nyaman dengan kucing yang sering datang itu. Mau bagaimana lagi, Biru sudah terlanjur sayang dan ingin menyembuhkan kucing itu. Tidak tega melihatnya kelaparan dalam kondisi sakit. Maka yang bisa ia lakukan adalah mengelusnya dengan sayang. Berharap setiap sentuhan yang ia berikan dapat mengurangi rasa sakit hewan itu.

"Biru boleh kok pelihara kucing itu. Nanti kita kasih makan dan obatin, ya."

Mendengar hal tersebut langsung keluar dari mulut ayahnya. Biru senang bukan main. Dengan segera ia membawa kucing malang itu dengan raut yang begitu bahagia.

"Tapi ada satu syarat."

"Apa, Yah?"

"Kucingnya dijaga dan dirawat baik-baik, ya. Ingat, dia juga makhluk Allah sama seperti kita. Jangan hanya dirawat dan disayang sekarang saja. Tapi, kucing itu sekarang sudah tanggung jawab Biru, mengerti?"

Biru yang polos dan merasa senang mengagguk antusias, lantas mendekap tubuh ayahnya dengan erat sebagai bentuk terima kasih.

"Terima kasih, Ayah. Biru sayang sekali sama Ayah."

Hanan membalas pelukan anaknya. Mengusap punggung kecil itu dengan tulus.

Tak apa, biarpun dia alergi dengan bulu kucing, asalkan anaknya tersenyum bahagia.

***

Sayangnya, pagi kali ini tidak ada senyum ketulusan itu. Tidak ada suara riang yang selalu ingin bertanya banyak hal pada ibu, ayah, dan kakak-kakaknya. Tidak ada pula sosok yang selalu duduk dengan setia di kursi meja makan, menunggui ibunya selesai memasak dan menyiapkan sarapan.

Sosok itu kini tengah terkulai lemah di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk ikut bergabung sarapan dnegan kakaknya karena disergapi rasa pusing. Belum lagi mual dan saat mencium bau makanan.

Semalam, Biru mengeluh pusing dan batuk di tengah malam. Saat dichek keadaannya oleh Arini, suhu tubuh Biru meningkat. Menunjukan angka 38,7 di termometer yang ditempelkan di ketiaknya.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now