29 - Tidak Berhasil Bukan Berarti Gagal

283 39 21
                                    

"Yah, itu Kakak, Yah. Keliatan, gak?"

Arini berseru ria saat menyaksikan bagaimana beberapa siswa berbaris dengan rapi, lengkap dengan sebilah tongkat bambu di sebelah kanannya.

"Mana, Bu?" Hanan membetulkan letak kacamatanya.

"Itu tuh. Keliatan kecil banget di barisan kedua paling ujung. Tapi, Kakak cantik banget," tunjuk Arini ke arah lapangan yang sedang menampilkan aksi terbaik dari pasukan tongkat yang sedang diselenggarakan.

Mata Hanan masih berusaha menangkap di bagian mana putrinya berada. Jarak tempat duduk dengan lapangan tidak terlalu jauh, seharusnya dengan mata telanjang pun ia mampu menangkap bayangan Shafira dengan baik. Namun, semenjak sakitnya beberapa saat lalu, keadaan tubuhnya tidak begitu normal seperti sedia kala. Salah satunya adalah penglihatannya yang memburuk.

Tidak apa-apa. Ia masih tetap mensyukuri atas apa yang telah terjadi. Toh, selama puluhan tahun ia sudah memanfaatkan mata dan penglihatannya dengan baik. Jadi, ia anggap matanya sudah lelah karena dimakan usia.

Beberapa menit kemudian, ia akhirnya bisa melihat Shafira berada. Gerakan lincah dan tegas saat membawakan keterampilannya itu membuat seutas senyum Hanan tercipta. Kendati ia tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi rasa bangganya menyeruak memenuhi rongga dadanya.

Beberapa minggu lalu, bahkan saat dirinya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Anak keduanya itu terus saja mengatakan bahwa ia bisa lolos ke perlombaan selanjutnya. Berharap bisa disaksikan langsung oleh ayah dan ibu katanya. Kala itu, baik Arini maupun Hanan tidak yakin dengan permintaan sederhana anaknya. Mengingat untuk bisa bernapas sendiri saja ia tidak kuasa. Hanya terpikirkan nasib-nasib buruk yang akan menimpa dan berapa lama umur yang tersisa. Namun, Yang Kuasa punya rencana lain. Akhirnya ia masih diberi umur dan bahagia menyaksikan keinginan Shafira.

"Sini Ayahnya agak geser coba. Dari arah sini keliatan jelas banget." Hanan beringsut satu kursi saat Arini pun sama bergeser. Kebetulan, satu kursi di samping Arini tidak berpenghuni.

"Ih, Kok bisa ya pada serempak gitu main tongkatnya. Pasti latihannya gak main-main. Pantesan aja Kakak kalau pulang sekolah suka keliatan capek banget." Sepanjang menyaksikan penampilan tersebut, Arini seolah tidak ingin berhenti berkomentar. Mulai dari riasan, gerakan, sampai kekompakan pasukan anaknya. Merasa kagum dan bangga di saat bersamaan.

Sedangkan Hanan tak banyak bicara. Membiarkan Arini berceloteh sesukanya. Toh, ia menanggapi pun tidak akan direspon lebih oleh Arini karena matanya tetap fokus pada satu objek. Jadi, lebih baik ia pun tetap menikmati penampilan tersebut dengan penglihatan seadanya.

"Nanti kita ajak Kakak makan-makan abis ini, ya. Udah lama juga kan kita gak makan di luar. Sekalian juga Abang nanti kita jemput di sekolah."

Hanan mengangguk setuju. Hari ini, biarkan dia untuk memanfaatkan waktu bersama keluarganya. Hatinya sedikit tersentil, sudah lama sekali dirinya tidak melakukan hal tersebut, apalagi setelah banyaknya masalah yang menimpa keluarganya. Maka, sekarang adalah waktu yang tepat agar bisa lebih mempererat satu sama lain.

Suara riuh kembali menariknya ke alam nyata. Ternyata bari saja pasukan tersebut memperlihatkan kebolehannya akan tongkat yang dipegang masing-masing. Saling melempar dan menagkap satu sama lain, dilanjut dengan sedikit variasi bermain perang tongkat. Menggambarkan masa penjajahan yang berjuang hanya dengan senjata sederhana. Bambu runcing.

Penampilan tersebut diakhiri dengan kembalinya pasukan ke posisi masing-masing. Suara komandan pasukan yang lantang saat melapor benar-benar menutup aksi tersebut. Setelahnya, pasukan benar-benar digiring untuk kembali masuk ke tempat persiapan diringi gemuruh tepuk tangan, dan nyanyian yel-yel dari teman sekolah yang menyaksikan.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang