17 - Setelah Kehilangan

361 58 33
                                    

Tidak ada yang tahu seberapa keruh lautan setelah di jamah oleh manusia
Begitupun dengan hati, tidak ada yang tahu seberapa hancur rasa dan asa setelah disinggahi, lalu ditinggal pergi...

Terlepas dari segala macam kehilangan
Nyatanya akan ada segores luka yang menodai keikhlasan

~🌹🌹🌹~

Ungkapan bela sungkawa, isak tangis sanak saudara, serta tatapan duka yang sedari tadi keluarga Hanan terima telah pergi bersamaan dengan kembalinya kedua orang tua itu ke rumahnya. Pada akhirnya, yang tertinggal hanya rasa kehilangan seorang ibu, rasa menyesal seorang ayah, serta kehampaan dua orang kakak.

Sagara Biru. Arini sengaja memberi nama itu pada anak bungsunya dengan penuh harapan dan doa. Padahal, sebelumnya selalu saja Hanan yang memilihkan nama, tetapi saat bungsunya lahir, Arini ingin sekali memberikan nama itu. Berharap semua sifat baik yang dimiliki oleh laut akan membersamai anaknya kelak.

Bagi Arini, Biru memiliki dua makna. Seperti namanya yang terangkai indah. Arini berharap sifat dan perangainya pun tak lepas dari keindahan. Seperti langit, Biru begitu hangat memberikan naungan kasih sayang pada orang-orang terdekatnya. Bagai Laut lepas, kepribadiannya selalu ikhlas dalam menghadapi keadaan.

Namun, Arini lupa, bahwa laut adalah misteri. Arini tidak tahu bahwa warna biru sering kali dikaitkan dengan perasaan sedih, takut, dan sunyi. Arini terlalu abai, sehingga pada akhirnya ia harus kehilangan Biru-nya.

Memang bukan salahnya, bukan salah siapa pun. Ini adalah takdir, ini adalah ketentuan yang tidak bisa ditunda atau dirubah, tetapi Arini masih belum siap dan sejujurnya tidak akan pernah. Jiwanya masih belum puas menyayangi anaknya. Raganya masih ingin memeluk tubuh Biru.

"Ibu dimana, Kak?"

Arini masih mendengar jelas semua yang terjadi di luar. Mendengar Hanan yang sedari tadi mencarinya. Mendengar beberapa tamu yang masih datang untuk berbela sungkawa, bahkan masih mendengar suara Biru yang memanggilnya untuk melihat hasil karyanya.

Ah, sepertinya memang benar-benar lelah.

Maka dari itu, ia memilih untuk diam di kamar Biru. Kamar yang bahkan tidak sempat ia bereskan. Sprei berkarakter dan selimut yang sedikit berantakan. Buku-buku masih terbuka dan berserakan. Serta yang lebih menyakitkan adalah baju Biru yang belum ia cuci masih teronggok di sudut kamar.

Arini ingin menangis, tetapi air matanya sudah tak mampu lagi keluar. Maka yang ia lakukan adalah mengubah posisi tidurnya, diam dan memandangi semua yang ada di kamar itu. Membayangkan seolah Biru masih belajar di mejanya. Biru yang masih bermain pesawat dan miniatur rumah di ujung karpet, juga membayangkan Biru yang sekarang seharusnya tertidur di sisinya.

Akan tetapi, lagi-lagi Arini tidak menangis. Matanya seolah enggan untuk mengeluarkan air mata.

"Bu?"

Arini tahu, itu adalah suara suaminya. Namun, Arini tidak menyadari bahwa sekarang Hanan sudah ada di hadapannya. Duduk lebih rendah dari tempat tidur Biru.

"Ayah cari Ibu dari tadi, ternyata Ibu di sini," kata Hanan sambil berusaha membenarkan posisi tidur Arini. Arini menurut saja, sehingga kini dirinya tertidur telentang dengan kepala yang bersandar pada kepala ranjang.

"Kata Fira, Ibu belum makan dari pagi. Makan dulu, ya. Ditemenin sama Ayah makannya, mau?"

Arini menggeleng sebagai balasan. Tidak terpikirkan olehnya akan hal-hal tersebut.

"Atau mau Ayah bikinkan teh hangat?" Nampaknya Hanan belum menyerah untuk membujuk Arini, setidaknya perut Arini tidak kosong. Namun, tetap saja hanya gelengan yang didapatnya.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now