The Last: Mengantarkan Bahagia

618 54 59
                                    

Dalam kehidupan, nyatanya tidak ada yang benar-benar berakhir menyedihkan ataupun bahagia. Dunia tidak berhenti berputar hanya karena kehilangan atau karena kabar menyenangkan. Semuanya akan tetap sama. Hidup terus berjalan. Hilang satu, maka akan tumbuh yang baru. Berduka satu, maka akan datang jutaan suka yang lain. Kehilangan, datang kebahagiaan, akan terus berputar menjadi siklus yang lumrah dalam peradaban.

Akan tetapi, bagi orang yang melewati hal tersebut. Luka dan sakit akibat kehilangan dan kesedihan itu tidak pudar hanya karena waktu tetap berlalu. Mereka hanya terus berusaha untuk hidup dengan baik-baik saja. Tidak peduli harus berjalan atau berlari mengejar ketertinggalan, sebab bagi mereka yang pernah mengalaminya, biarpun dunia berputar sampai hancur sekalipun, dunia milik mereka telah berhenti.

Sesakit itu rasanya kehilangan.

Nyaris sembilan tahun berlalu, empat orang yang disatukan dalam sebuah ikatan keluarga masih belum bisa melupakan rasa sakit itu. Bagi Hanan, Arini, Arfan, dan Shafira, rasa sakitnya masih seperti tahun-tahun lalu. Kekosongan nya pun tak tergantikan sekalipun mendapat bahagia yang lain.

Sembilan tahun lalu, Hanan dan keluarganya mengalami hal paling sulit dalam hidupnya, terutama saat kehilangan orang tersayang. Sudah seperti apa rupa si bungsu jika ia masih bersama?

Banyak yang terjadi dalam waktu yang tidak singkat itu. Arfan yang akhirnya bisa masuk kampus impian dan mendapat pekerjaan layak. Membuat firma hukum sendiri untuk bisa membantu banyak orang yang kesusahan. Disusul oleh Shafira yang memilih menjejakkan karir sebagai tenaga pendidik bahasa asing. Arini yang mengisi kekosongan hari tuanya dengan menyalurkan hobi menjahitnya.

Sedangkan Hanan, sudah beberapa tahun menjalani masa pensiunnya akibat masalah kesehatannya. Menikmati masa itu dengan kembali hidup berdua bersama Arini. Arfan dan Shafira jelas punya kehidupan masing-masing dan tidak bisa selalu berada bersama mereka berdua.

Bahagia hanya sekejap. Sedih pun hanya sejenak. Semuanya terus berputar dan tak ada yang bertahan abadi. Hanan, Arini, sepenuhnya menyadari, bahwa sedih mereka akan digantikan oleh bahagia.

Jika biasanya saat malam datang, hanya tinggal ia dan Arini yang diliput sepi, tetapi dalam dua hari ke belakang, keadaan rumahnya ramai oleh sanak saudara yang datang dan berkumpul bersama. Shafira sudah memasuki usia matang. Sudah mapan dan berakhir bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya nyaman, sehingga pada akhirnya ia memilih untuk segera melangkah ke jenjang selanjutnya.

"Yah?"

Hanan yang sedang duduk sendiri di sofa segera melirik ke arah suara yang memanggilnya. Tangannya yang sedang memijat bahunya sendiri pun berhenti seketika. Menegakkan badannya agar bisa duduk sempurna di hadapan Arfan.

"Sini Abang aja yang pijitin." Arfan meraih tangan ayahnya, lalu memulai memijatnya dengan hati-hati.

"Kenapa belum tidur? Istri kamu mana?" Sambil menikmati setiap sentuhan dan pijatan Arfan, Hanan membuka pembicaraan.

"Justru harusnya aku yang tanya. Kenapa Ayah belum tidur, padahal udah tengah malem?"

"Gak bisa tidur, Bang. Udah dicoba juga malah pusing. Gugup kayaknya buat acara besok. Mungkin juga karena kecapean, Bang."

"Yakin cuma karena itu? Ibu gak mungkin sampe marah gitu, lho, Yah."

"Ibu pasti udah bilang sama Abang dan Fira, ya?"

Arfan tersenyum teduh, tetapi menyiratkan keseriusan. Sebenarnya, tanpa diberitahu oleh Arini pun, Arfan sudah melihat ada yang salah dengan ayahnya. Bagaimana ayahnya yang terlihat lemas dan bengkak di beberapa bagian tubuhnya. Arfan yang tinggal di daerah yang lumayan jauh dari orang tuanya membuat jarang mengetahui bagaimana kondisi dan kesehatan mereka, terutama Hanan.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang