19 - Ingin Segera Usai

282 40 24
                                    

Arfan tahu, semuanya sudah tidak baik-baik saja jauh sebelum Biru pergi. Dia memang yang paling diam di antara anggota keluarganya yang lain, tetapi bukan berarti ia tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi di rumahnya. Justru, karena ia banyak tahu tentang seharunya ia tidak tahu. Maka dari itu, ia memilih diam saat terkadang orang tuanya bertengkar di luar batas wajar.

Alasannya sederhana. Ia hanya tidak ingin menyakiti perasaan adik-adiknya, tidak ingin pula menyinggung perasaan ayah ibunya. Maka dari itu, ia memilih menyimpannya sendiri. Lagi pula, ia anggap dirinya mampu.

Hari ini pun seperti itu. Semenjak Biru pergi, semuanya tidak ada yang baik-baik saja. Memang aktivitas keluarganya kembali berjalan seperti biasa, tetapi Arfan merasakan perasaan yang berbeda.

Semua orang menyimpan kesedihannya untuk mereka sendiri.

Rumah tetap hangat, tetapi terasa sepi baginya. Biasanya, akan ada gelak tawa yang khas dari Biru. Biru memang dekat dengan semua anggota keluarga. Maka setiap yang pernah dekat dengan Biru akan merasakan kehangatan.

Malam itu, sebelum adik terakhirnya jatuh sakit. Arfan dengan senang hati membantunya mengerjakan soal matematika sederhana, kemudian memilih menemaninya untuk tidur. Tidak menyangka adiknya akan jatuh sakit dan kembali pada Tuhan.

Melihat bagaimama Arini begitu terpukul, hati Arfan ingin sekali merengkuh. Memberikan kalimat penenang dan penghibur untuk ibunya. Akan tetapi, mau bagaimana ia mengungkapnya? Keterdiamannya selama ini justru membuatnya merasa kelu hanya untuk sekadar menenangkan tangis ibunya.

Shafira pun sama. Terus menangis saat kenangan indah bersama Biru tiba-tiba terputar dalam memori otaknya. Menurutnya, selama ini ia belum benar-benar mencurahkan cinta kasihnya pada Biru.

Arfan bisa apa selain diam mendengarkan keluh kesah adiknya?

Puncaknya adalah hari ini. Selama ini, Arfan pikir semua yang tidak baik-baik saja akan terkendali ketika masih ada bahu kuat ayah. Ayah akan selalu ada untuk semua masalah yang ada dalam keluarganya. Biarpun perangainya sedikit keras, tetapi Arfan mengerti, bahwa hal tersebut memang tidak bisa dirubah dari ayahnya. Karena yang Arfan lihat, terdapat kebijaksanaan di balik semua itu.

Namun, nyatanya masalah kali ini merubah pola pikir Arfan. Ayahnya juga manusia biasanya, memiliki sisi lemah jika diberi cobaan hidup oleh Yang Kuasa. Ayahnya tidak akan selalu kuat dalam mengatasi semua masalah. Ayahnya juga tidak tahu akan apa saja yang terjadi, bahkan satu detik dari sekarang. Maka, siapa yang bisa diandalkan dalam situasi seperti ini?

Arfan menghela napas panjang. Sudah bukan waktunya ia tetap bungkam dan berdiam diri. Sebagai anak laki-laki sekaligus anak pertama, sudah seharunya ia mengusir semua kecanggungan dan kegugupannya. Ayah, Ibu, Shafira, semuanya membutuhkan kehadirannya dirinya agar rangkulan mereka tidak rumpang.

"Kenapa malah di luar, Bang? Cuacanya lagi dingin." Suara Shafira menyadarkan renungannya. Ternyata adiknya sudah duduk di sebelahnya.

"Cari angin," jawab Arfan singkat.

"Kata Ibu jangan di luar, Bang. Takut sakit."

"Sebentar lagi, Fir. Nanggung ini tugasnya belum selesai."

Arini jelas mengatakan hal tersebut. Ia tidak mau kecolongan. Tidak ingin lagi merasa kehilangan. Beberapa hari yang lalu pun, Arini sudah memberikan beberapa wejangan pada Arfan dan Shafira untuk mengatakan apapun yang mereka rasa. Bila sakit katakan sakit, bila sedih tidak apa-apa untuk menangis. Arini hanya sedang berusaha memperbaiki semuanya.

"Emang Abang dari tadi nugas? Aku liat dari tadi laptopnya dianggurin. Abangnya malah bengong. Ada apa, sih?"

"Engga apa-apa."

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now