26 - Harapan dan Untaian Doa

301 43 59
                                    

Derap langkah Arini berusaha menyusul dua petugas yang membawa Hanan menuju ruang tindakan di IGD. Disusul oleh Arfan dan Shafira yang membuntutinya di belakang. Malam hari yang seharusnya mereka gunakan untuk beristirahat, harus berganti dengan rasa cemas dan khawatir.

Malam hari, IGD tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasien dengan keadaan sesak dan korban kecelakaan bermotor. Oleh karena itu, derap langkah, suara roda yang bergesekan dengan lantai, serta segala degup jantung yang begitu kencang berdetak dapat Arini dengar dengan jelas.

Malam ini, ia tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya sendiri. Sudah terlalu kalut dan berpasrah diri. Hanya bisa senantiasa merapalkan doa agar tidak ada hal buruk yang terjadi.

"Mohon maaf, Ibu. Atas nama Bapak siapa?" Salah satu perawat yang tadi membantunya masuk ke dalam bilik dan menutup tirai.

"Hanan Narendra."

"Usianya berapa, Bu?"

"52 tahun." Arini tertegun sesaat. Ah, ternyata sudah sebanyak itu umur suaminya. Itu artinya, ia sudah menghabiskan setengah umurnya lebih banyak bersama Hanan.

"Ada keluhan apa, Bu?" Selagi satu perawat memberikan rentetan pertanyaan pada Arini, satu dari mereka juga memberi tindakan pada Hanan. Memberikan posisi yang nyaman, memasang nassal canula, serta memeriksa tanda-tanda vital.

"Dari kemarin demam, terus tadi pulang kerja ngeluh mual, perutnya sakit, sama sesak," jawab Arini.

"Sebelumnya Bapak ada riwayat sakit?"

"Dulu pernah dirawat karena asam lambung. Tapi, sudah lama sekali, Sus. Setelah itu jarang lagi kumat."

Perawat tersebut kali mencatat apa saja keluhan yang disebutkan Arini.

"Maaf, Ibu. Sebelum Bapak tidak sadar, ada lagi keluhan yang lain mungkin selain yang disebutkan?"

"Tadi sempet beberapa kali buang air kecil sama bilang selalu haus. Terus sempat ngeluh pusing sama sakit di seluruh badannya."

Selesai dengan data yang didapatkan, dua orang Perawat tadi undur diri untuk melaporkan hasil anamnesanya. Selagi menunggu Dokter, Arini duduk di kursi yang telah disediakan. Menggenggam lembut dan hati-hati tangan Hanan. Takut jika sedikit gerakan saja mungkin akan menyakiti suaminya. Sedangkan Arfan dan Shafira menunggu di luar ruangan tindakan.

Saat kulitnya bersentuhan dengan tangan Hanan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menelisik ke dalam hatinya. Dua cincin pernikahannya menyatu saat tangannya saling menggenggam. Bukan lagi kulit halus dan kenyal yang dirasa saat bersentuhan, tetapi kulit yang mulai terasa kasar dengan beberapa kerutan yang jelas teraba. Ah, ia dan Hanan telah menua bersama.

Arini membawa tangannya untuk mengusap rambut Hanan yang sudah basah dengan keringat. Sesekali kernyitan halus muncul dan menimbulkan kerutan halus di kening Hanan dengan napas yang masih tersengal.

"Yah." Arini kembali mencoba memanggil untuk menarik kesadaran Hanan. Saat masih di perjalanan, Hanan masih bisa membuka matanya sedikit saat namanya dipanggil, tetapi kali ini, harus diberi rangsangan nyeri agar dapat merespon.

"Ayah bisa denger Ibu, 'kan? Hm? Sakit banget, ya, Yah?" Arini terus mengusap lembut rambut Hanan. Tidak peduli tangannya pegal sekali pun. "Sabar, ya. Kita obatin sekarang. Tahan dulu sebentar, ya."

Tidak lama, tirai yang menyekat tempat tidur dengan pasien lainnya terbuka. Seorang Dokter wanita dengan stetoskop di lehernya. Arini segera bangkit dari tempat duduknya, membalas sapaan Dokter dan kembali menjelaskan apa-apa saja keluhan suaminya.

"Sebelumnya, Bapak ada Riwayat Diabetes?"

Arini menggeleng. "Setahu saya, suami saya belum pernah cek gula darah, Dok."

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt