14 - Berangkat

284 51 42
                                    

Hanan rasa, semua masalah yang singgah di keluarganya adalah dampak dari kesalahannya. Dirinya yang menyepelekan banyak hal, kurang mensyukuri atas apa yang telah ia milik saat ini.

Pertama, hubungannya dengan Shafira yang masih saja belum terlalu baik. Padahal, keduanya sudah saling meminta maaf. Berjanji satu sama lain untuk tidak mengulangi kesalahan mereka masing-masing. Namun, seolah masih saja ada mengganjal, apalagi sikap Shafira yang masih sering menghindar saat bersamanya.

Baiklah, itu adalah buah yang dipetik dari sikap kasarnya beberapa waktu lalu, dan itu berasal dari kekangan yang ia berikan pada puterinya. Hanan mengakuinya.

Kedua, permasalahannya di kantor yang sekarang sedang membelit pikirannya. Oknum-oknum yang lepas tanggung jawab dan kelalaian dirinya membuatnya masuk ke dalam masalah tersebut. Parahnya, bukan hanya dia yang harus menyelesaikannya, tetapi beberapa bawahannya yang juga ikut terseret akibat dirinya.

Sebuah teguran pula untuk dirinya saat mengetahui bahwa anak bungsunya menjadi salah satu korban kejahilan teman-temannya di sekolah. Belum lagi saat ini bungsunya jatuh sakit dan mengharuskannya di rawat di rumah sakit.

Hanan yang tidak mensyukuri waktu, tidak menghargai kesempatan yang ada, tidak pula memanfaatkan kebersamaan. Di saat seharusnya dia menemani anak dan istrinya, ia harus pergi untuk menyelesaikan urusannya yang lain.

Seharusnya, sebelum sibuk dengan pekerjaannya, ia lebih bisa meluangkan waktunya untuk keluarga.

Seandainya, Biru dalam kondisi sehat, tidak perlu dirinya merasa gamang.

Namun, sia-sia saja. Karena semua hanya berakhir dengan seharusnya dan seandainya. Mau disesali pun rasanya tak berguna.

Suara derit pintu akhirnya menyadarkan perenungannya. Dirinya baru saja sampai dari rumah sakit. Tidak langsung membersihkan diri atau mempersiapkan barang bawaanya. Memilih duduk di kursi depan teras dengan punggung yang ia sandarkan. Memejamkan mata untuk melepas penat, tetapi justru muncul berbagai pikiran-pikiran yang membuatnya lelah.

Dengan repleks Hanan menoleh. Menampilkan senyuman untuk Shafira yang memang disuruh menunggui rumah sekaligus membantu persiapan ayahnya. "Kak," balas Hanan.

"Kenapa gak masuk?"

"Di luar seger anginnya," jawabnya gelagapan. Otaknya terlalu buntu untuk memikirkan jawaban apa yang seharusnya diucapkan.

Kemudian, keduanya saling terdiam. Shafira yang masih bergeming di ambang pintu dan Hanan yang masih duduk di kursi depan. "Udah makan belum, Kak?" tanyanya memecah hening.

Dilihatnya gelengan kecil di kepala anaknya. Sudah Hanan duga, Shafira pasti belum makan. Maka dari itu, ia berinisiatif membeli makanan sepulang dari rumah sakit.

Hanan mengusap pahanya, kemudian mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Pikirannya yang lelah membuat tubuhnya jauh lebih letih.

"Ayah beli sate kambing di depan pertigaan. Yang sering kita beli dulu. Kakak masih suka, 'kan?" Ia menyodorkan dua kantung kresek pada Shafira. Dari aromanya saja sudah tercium bahwa itu adalah sate yang dimaksud oleh Hanan.

Shafira mengangguk tanpa suara, tetapi itu sudah cukup membuat Hanan merasa lega.

Keduanya masuk ke dalam rumah. Sementara Hanan melepas pakaian dan menyimpan barang-barangnya, Shafira menyiapkan makanan yang dibawa oleh ayahnya.

Hanan mnarik kursi. Berhadapan langsung dengan Shafira yang telah duduk menunggu Hanan. Seperti sebelumnya, tidak ada percakapan, saling terdiam, menikmati kelenggangan.

"Kok sate sama nasinya gak di makan, Yah?" Setelah membulatkan tekad, Shafira memberanikan diri berucap. Heran karena ayahnya hanya mengaduk nasi yang sudah dicampur dengan bumbu kacang.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя