27 - Menjelang Petang

248 44 44
                                    

Semenjak kejadian beberapa bulan lalu, Arini mulai belajar untuk lebih menghargai hidup dan waktu. Kehilangan, kecerobohan, dan semua yang terjadi di hidupnya benar-benar memberikan banyak pelajaran dan tamparan keras dalam kehidupannya. Manusia memang seperti itu, harus merasakan dulu kepahitan hingga akhirnya mereka sadar akan kesalahan.

Dari waktu yang ia habiskan bersama anak dan suaminya, tidak pernah terpikirkan jikalau perpisahan akibat maut akan begitu hebat nyerinya. Penyesalan tentang waktu-waktu yang telah berlalu dan tidak dimanfaatkan dengan baik, membuat luka abadi sebagai ganjaran dan kenangan. Tidak apa, hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus disesali, tetapi menjadi kisah dan kenangan yang menjadi pelajaran di masa yang akan datang.

Tiga hari lamanya Hanan berada di ICU. Ruangan yang dingin dan mencekam dengan kondisi yang masih kritis. Akan tetapi, Arini tidak menyerah untuk terus menggantungkan harapan dengan rangkaian doa. Justru dengan hal ini, ia semakin dibuat sadar, bahwa ia memang bukanlah apa-apa. Hanya makhluk lemah yang tak pernah bosan untuk terus meminta.

Entah sudah berapa kali Arini mendengar jerit tangis dari beberapa anggota keluarga yang harus kehilangan orang terkasihnya. Pilu akibat kepergian tersebut sampai ke hati Arini atau mungkin ke beberapa anggota keluarga yang sama hadir di sana. Membuat mereka semakin memilih untuk memperbanyak berdoa. Sama halnya yang dilakukan Arini, semakin menggengam erat tangan Hanan, seolah apabila terlepas sedetik pun, ia akan kehilangan.

Pagi ini, Arini dengan tergesa mengayunkan langkahnya menuju ke ruangan Hanan. Sedikit meruntuki dirinya yang lengah akan keadaan. Saat tubuhnya sudah berada dalam ruangan Hanan, sudah ada satu perawat yang sedang bersiap akan membersihkan tubuh Hanan di setiap paginya. Biasanya, Arini sendiri yang akan membantu untuk masalah ini, tetapi sekarang dia sedikit terlambat.

"Maaf, Sus. Tadi saya ketiduran sebentar abis sholat subuh." Arini meletakkan barangnya terlebih dahulu, kemudian segera membawa peralatan yang akan dibutuhkan. "Sudah lama menunggu, ya?" tanyanya tak enak hati.

Perawat tersebut tersenyum maklum. "Saya kira Ibu lagi pulang dulu. Tapi, kata teman saya dari semalem Ibu bahkan gak kemana-mana. Jadi, sambil nunggu Ibu datang saya ke pasien yang lain dulu."

"Ibu gak gantian jaganya?"

"Kemarin kakak saya yang gantian jaga. Tapi, beliau kan kerja dan tinggalnya di luar kota. Biasanya, kalau sore sampe malam gantian sama anak-anak sepulang sekolah," tutur Arini.

"Ibu hebat. Semoga aja Bapaknya cepat kembali seperti sedia kala, ya, Bu. Dan penyakitnya diangkat sama Allah. Insya Allah sakit yang sekarang itu jadi penggugur dosa."

Hati Arini menghangat mendengar kalimat tersebut. Mungkin hanya terdengar sebagai kalimat penghibur bagi sebagian orang. Namun, bagi beberapa orang yang dalam keadaan sama seperti Arini, hal tersebut dapat memberikan kekuatan baru.

"Aamiin ... Terima kasih banyak, Sus."

Seutas senyum menjadi balasan. "Mau saya bantu atau mau Ibu sendiri?" tawar Perawat, sebab biasanya Arini sendiri yang membersihkan tubuh Hanan.

"Gak papa saya sendiri aja, Sus. Barangkali Suster ada pekerjaan lain," tolak Arini lembut.

"Kalau begitu, saya keluar dulu, ya. Nanti kalau Ibu butuh apa-apa boleh panggil saja di depan."

Setelah perawat tersebut berpamitan, Arini mendekatkan diri ke tubuh Hanan yang masih terbaring lemah. Dipandanginya beberapa saat, lalu membisikkan sesuatu ke dekat telinganya.

"Maaf, ya. Ibu tadi sempet ketiduran. Sekarang udah seger, kok."

Namun, Arini harus menerima kenyataan kembali, bahwa hanya bunyi konstan monitor yang menjadi jawaban.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now