24 - Sepatu Baru Biru

282 48 51
                                    

"Gak papa gak Ayah temenin?"

Arini menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Pertanyaan ini sudah dilontarkan tiga kali lebih oleh Hanan di pagi Hari.

"Sekali lagi Ayah tanya kayak gitu, udah dapet piring cantik dua lusin kayaknya."

"Ayah serius lho, Bu." Alih-alih takut dengan ekspresi suaminya yang sudah berubah, Arini justru menebarkan senyum diiringi tawaringan.

"Ibu dua rius malahan. Yah, Ibu gak secengeng itu sampe buat ambil rapot Biru aja harus dianter Ayah. Biasanya juga sendirian pas masih di TK," jawab Arini, "justru Ibu yang harusnya tanya, Ayah beneran mau berangkat? Mukanya masih pucet."

Hanan meraba-raba wajahnya sendiri. Memang masih ada sisa demam kemarin, tetapi itu bukan masalah besar baginya. "Gak masalah, Bu. Demamnya masih bisa diatasi."

"Serius, Yah?" ledek Arini, mengulang kembali ucapan Hanan terdahulu.

Hanan menyadari candaan istrinya. "Ayah seratus rius malahan, Bu."

Tawa Arini pecah, apalagi saat melihat wajah suaminya yang sengaja terlihat meledek. "Apaan, sih, Yah. Garing tau."

"Udah yuk berangkat sekarang, nanti kesiangan." Arini mendorong tubuh Hanan yang masih gencar menatapnya dengan lamar sambil tersenyum penuh arti. "Ayok, Yah. Ngapain sih masih liatin gitu. Tuh, awas tangga, tuh!"

"Bilang aja gugup kan ditatap begitu sama Ayah, iya, 'kan?"

"Enggak, Yah. Nih Ibu biasa aja. Ya udah yuk berangkat. Ini udah jam tujuh lebih." Diam-diam Arini berusaha menyembunyikan rona merahnya. Suaminya akan semakin gencar menggoda jika ia terlihat semakin salah tingkah.

"Iya, iya ini berangkat." Hanan mengalah. Berakhir dengan dirinya yang masuk ke dalam mobil di bagian kemudi, lalu disusul oleh Arini yang duduk di sebelahnya.

Benar saja, saat mobil yang dikemudikan oleh Hanan berhenti tepat di depan gerbang sekolah, suasanan masih belum begitu ramai. Hanya ada beberapa guru dan siswa yang sudah datang ke tempat menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa. Arini memang sengaja datang lebih awal agar bisa berangkat bersama Hanan.

"Nanti pulangnya Ibu pesen ojek online aja. Acaranya juga kayaknya gak sampe siang," ucap Arini sesaat sebelum turun.

"Ya udah kalo gitu Ayah berangkat dulu, ya. Nanti pulangnya hati-hati."

Arini mengangguk sebagai jawaban. Diraihnya tangan Hanan dan dicium dengan hangat, lalu diseutas senyum hangat dilemparkan pada Hanan. "Ayah juga hati-hati di jalan."

Selesai berpamitan, Arini turun dari mobil. Sekilas melambaikan tangan pada Hanan sebelum mobilnya berlalu menjauh. Jujur saja, Arini masih belum berani membalikkan tubuhnya, sebab sekarang ia tengah berdiri tepat di depan gerbang tempat Biru menuntut ilmu waktu lalu.

Satu menit mengumpulkan keberanian, sebelum kakinya melangkah lebih jauh, Arini pandangi terlebih dahulu bangunan yang ada di depannya. Tanpa sadar ia menghela napas berat, kemudian melangkah menuju ke kelas yang dulu Biru tempati.

Ternyata Arini salah. Ia pikir, dengan melawan semua rasa takutnya, ia sudah cukup berani untuk bisa sedikit mengintip lembaran lama sebelum benar-benar ditutup. Ia kira, hatinya sudah cukup tangguh untuk bisa menahan beratnya rindu. Namun, lagi-lagi, dirinya ternyata masih dirundung nyeri.

Kemarin, ia dan keluarga sudah sepakat untuk membuka lembaran baru, berusaha tidak terlalu banyak mengungkit kenangan yang menyakitkan, tetapi adanya pemberitahuan dari pihak sekolah Biru tentang pembagian laporan hasil belajar Biru membuat Arini mau tak mau membuka lembaran lama.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat