20 - Salah Langkah

279 40 45
                                    

"Udah mendingan, Yah?"

Hanan mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan. Kacamata bacanya masih bertengger di hidung bangir, biasanya memang habis membaca beberapa berkas pekerjaannya di pagi hari selepas solat subuh. Dan seperti biasanya, Arini sedang menyiapkan teh hangat yang selalu disediakan untuk Hanan.

Arini mendekat sembari mengaduk teh hangat dalam gelas ukuran besar. Kemudian ikut menarik kursi yang ada di sebelah Hanan. Menyodorkan minuman hangat itu selagi masih mengepul.

"Lemesnya udah ilang, tapi pusingnya masih ada dikit, Bu."

Hanan meraih gagang gelas teh hangatnya. Mulai menyesap teh buatan Arini.

"Pelan-pelan, Yah. Masih panas." Arini memperingatkan.

Hanan tidak merespon, tetapi Arini tahu jika suaminya mengindahkan ucapannya. Terbukti ketika Hanan langsung meletakan kembali gelas teh itu, lalu saat akan menyesapnya kembali, ia sedikit meniup air dengan rasa manis itu.

"Makasih, Bu." Sejenak Hanan mengalihkan atensi dari ponsel dari genggamannya.

Arini tersenyum lembut, kemudian berditri dan melanjutkan kegiatannya. Membuat dua gelas susu rasa vanilla untuk Arfan dan Shafira.

"Mas Riyadi tadi nelpon. Katanya dia sama Mbak Desi ke sini sebelum tujuh harinya Biru."

Ucapan Hanan bertepatan dengan mata Arini yang menangkap sebuah objek yang membuat gerakannya berhenti sejenak. Satu kotak susu berperisa cokelat bersanding dengan susu yang biasa dikonsumai oleh Shafira dan Arfan.

Susu kesukaan Biru.

Si bungsu memang suka segala pun yang disajikan oleh Arini, tetapi Arini tahu, bahwa Biru akan lebih senang saat susu cokelat yang dibuatkan.

Tak ingin berlarut lagi, Arini segera meraih susu untuk Arfan dan Shafira. Dengan cekatan ia membuat susu tersebut, sehingga dalam hitungan menit, susu tersebut sudah siap. Arini menambahkan tutup di atas gelasnya, takut ada serangga atau kotoran yang masuk ke dalam susu.

"Mau jam berapa katanya, Yah? Biar nanti kita jemput mereka di bandara," tanya Arini, berusaha mengalihkan rasa pedihnya. Meskipun tetap saja, topik yang dibahas adalah hal yang bisa membangkitkan dukanya.

"Nanti mereka kabarin lagi katanya."

"Arfan sama Shafira masih di kamarnya?"

"Iya. Mereka biasanya tidur lagi kalo libur."

"Gak baik itu. Jangan dibiasakan. Bagusnya abis solat itu ada kegiatan atau olahraga. Atau bisa bantuin Ibu gitu." Hanan kembali menyesap teh manisnya yang mulai dingin.

"Ibu juga udah kasih tau mereka, tapi ya namanya anak sekarang, emang agak susah dibilangin." Arini mebalas tanpa menatap. Mulai sibuk dengan beberapa peralatan masak untuk sarapan.

Jika di hari biasanya, sehabis subuh Arini akan sibuk dengan masakan, sedangkan Hanan akan sedikit membantu dengan menyapu atau pekerjaan rumah lainnya. Dari awal mereka berkeluarga, kedua sudah menyepakati bahwa pekerjaan rumah adalah pekerjaan bersama. Sisanya, akan dikerjakan oleh Arfan dan Shafira secara bergantian.

"Oh iya, semalem Andri ada nelfon beberapa kali, yang terakhir Ibu angkat, ya?"

Untuk kedua kalinya, Arini menghentikan gerakannya yang sedang memotong wortel. Seketika tubuhnya menegang saat nama Andri yang sebuah panggilan tergiang dalam rungunya. Tidak, bukan berarti ia tidak ingin jujur pada Hanan, tetapi saat ini ia pikir langkahnya tidak salah.

Sebisa mungkin Arini melakukan gerakan yang alami. Hanan memang tidak sedang menatapnya intens atau menginterogasinya. Ia hanya bertanya perihal Andri dan panggilan itu. Akan tetapi, tetap saja. Gugup sedikit bisa membuat kekacauan dan berbuah kecurigaan. Maka, dengan hati-hati ia melanjutkan potongan wortelnya. Berdeham untuk menetralkan suaranya.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now