30 - Janji untuk Dilanggar

515 43 18
                                    

"Ayah kenapa bandel banget sih dibilangin. Udah dibilang jangan dulu makan makanan pantangan. Ibu padahal udah susah atur jumlah makan sama jadwal makan Ayah. Tinggal kesadaran Ayah sendiri sama kesehatan Ayah gimana. Kalau sakit kan Ayah juga yang ngerasain."

Sepanjang jalan dari rumah sakit. Arini terus berbicara mengenai hasil pemeriksaan rutin Hanan yang kurang baik. Kadar gula darah yang kembali tinggi disertai dengan tensi darah yang juga naik. Tentu saja hal tersebut membuat Arini khawatir sekaligus marah. Khawatir akan kondisi kesehatan Hanan yang bisa saja kembali memburuk. Marah, sebab semua ini sedikit banyaknya adalah perilaku Hanan yang masih sulit untuk dirubah sesuai anjuran Dokter.

"Ibu bukannya sayang sama nasi dan makanannya. Bukan pelit sama makanan yang ada di rumah. Bukan cerewet kalau nyuruh Ayah istirahat, tuh. Tapi, ini semua demi kebaikan Ayah. Gak liat apa itu anak-anak yang masih kecil-kecil? Gak kasian apa sama Ibu yang harus khawatir terus?" cerocos Arini kembali. Tidak peduli mungkin telinga Hanan akan pengang mendengar ocehannya.

Merasa Hanan kalah dan tidak meresponnya, Arini memilih diam. Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin ia keluarkan dalam benaknya, tetapi rasanya seperti percuma dan buang-buang tenaga.

Sedangkan Hanan, diam bukan tanpa alasan. Ia mengaku, dirinya salah kali ini. Mendapat nasehat dari Dokter dan sedikit omelan dari Arini membuatnya perlahan sadar, bahwa memang itu demi kebaikannya. Sadar bahwa sekarang tubuhnya sudah jauh berbeda dari dulu, seharusnya bisa lebih menahan hasrah untuk memakan pantangan dan lebih mematuhi diit. Sekarang, bukan perkara sakit pada tubuhnya yang dirasakan, tetapi bagaimana respon orang sekitarnya yang merasa sedih dan tidak dihargai.

Arini yang sudah payah mengatur jadwal makan. Mengolah makanan sedemikian rupa agar bisa aman untuk dirinya. Mengajak untuk rutin berolahraga dan mengingatkan untuk beristirahat teratur. Terlihat sederhana dan seolah tanpa usaha lebih. Namun, bagi Hanan, itu semua membuat hatinya jauh lebih menghangat. Jadi, dirinya menganggap, bahwa Arini sangat wajar untuk marah pada dirinya, karena semua usaha yang dilakukan terasa sia-sia.

"Iya, Bu. Maafin Ayah, ya. Gak lagi makan yang kayak gitu. Maaf udah bikin ibu khawatir." Pada akhirnya, dengan segala sesal dan kerendahanhatiannya, Hanan mengucap maaf dengan tulus.

"Kata siapa ibu khawatir. Ibu marah, ya, sama Ayah," ketus Arini.

Alih-alih merasa marah atas ucapan ketus Arini, Diam-diam Hanan malah menerbitkan senyum tipis di balik kemudinya.

"Jangan senyum-senyum gitu. Ayah harusnya bisa berpikir mulai saat ini. Apa dampaknya atas kelakuan Ayah. Jangan kayak anak kecil yang apa-apa harus diomelin."

"Orang tua kan begitu, Bu. Katanya kalau udah tua pikirannya balik lagi kayak anak kecil. Kayaknya Ayah emang udah mulai ke fase itu, deh."

Arini semakin kesal mendengar jawaban Hanan. "Ya, justru karena udah tua. Harusnya bisa jaga tubuhnya, Yah."

"Iya, iya. Maafin Ayah, ya."

"Harusnya Ayah gak bikin harus mengucapkan kata maaf kalau ujung ujungnya kayak gitu lagi. Pokoknya, kejadian kali ini semoga bisa bikin Ayah sadar dan jadi renungan."

Tidak ingin perdebatannya menjadi panjang, Hanan merenung dalam hati. Berharap dirinya bisa mengatur dan memerhatikan kesehatan lebih baik. Kemudian, mengalihkan fokusnya kembali pada jalan. Masalah ini, cukup sampai di sini saja.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now