18 - Namanya Biru

330 47 22
                                    

"Ayah mau ke kantor dulu hari ini. Ibu gak papa ditinggal sendirian di rumah?"

Suara Hanan tiba-tiba muncul di belakang Arini yang sesang mencuci piring. Mendengar informasi tersebut membuat Arini buru-buru mematikan kran air dan mencuci tanganya yang dipenuhi busa, kemudian dengan cekatan ia usapkan kedua tangannya ke bagian belakang pakaiannya. Supaya tangannya menjadi kering.

"Kenapa Ayah gak bilang dari semalam?" tanya Arini saat berbalik dan melihat Hanan sudah siap dengan pakaian kerjanya.

"Ayah juga niatnya gak berangkat. Hari ini masih jatah cuti Ayah yang terakhir. Tapi, barusan Andri nelpon kalo pihak perusahaan minta keterangan Ayah lagi untuk masalah yang kemarin. Jadi, sekarang Ayah mau berangkat dulu. Kasian juga yang lain harus ngurusin kerjaan Ayah."

Arini terdiam. Benar, ia baru ingat bahwa sebelum musibah yang menimpa keluarganya, Hanan sedang dilanda oleh masalah dengan perusahaannya. Tentu saja sebagai bentuk pertanggung jawaban, Hanan harus segera menyelesaikan masalahnya, walaupun kesedihan masih jelas berjejak dari raut kedua orang tua itu.

"Ayah cuma sebentar, Bu. Hari ini Ayah mau lanjut pemeriksaan yang kemarin tertunda. Andri sama yang lainnya udah selesai."

Arini masih bersandar pada ujung tempat cuci piring.

"Atau Ayah minta Bu Asti buat nemenin Ibu di rumah." Hanan bertanya, sebab melihat keterdiaman Arini yang ia tafsirkan masih tidak bisa ditinggalkan sendiri.

Tidak tega sebenarnya. Di saat luka dan kesedihan Arini yang masih basah, ia dan anak-anaknya juga memiliki hal lain yg tidak bisa ditinggalkan. Arfan dan Shafira tidak mungkin terlalu lama meninggalkan sekolah mereka. Begitu pun dirinya yang harus menyelesaikan masalah yang sempat tertunda.

Sudah tiga hari semenjak Biru tidak hidup berdampingan lagi dengan mereka. Dan selama itu pula, Arini telah kembali melakukan aktivitasnya. Menyiapkan sarapan, membereskan rumah, merawat tananam. Akan tetapi, Hanan tahu, itu semua Arini lakukan hanya untuk mengusir laranya.

"Gak papa, Yah. Ayah berangkat aja. Gak enak sama Bu Asti, udah dari kemaren di sini terus bantuin beres-beres."

Meskipun masih ada setitik keraguan, tetapi Hanan berusaha meyakini ucapan Arini. Arini adalah wanita paling hebat yang pernah ia kenal, maka sudah sepatutnya ia memang menaruh percaya pada istrinya.

Hanan tahu, Arini tidak akan sepenuhnya ikhlas, apalagi dalam waktu yang singkat. Namun, Hanan percaya Arini mampu melewati fase sulit dalam hal merelakan kehilangan.

"Kalo begitu Ayah berangkat dulu, ya, Bu. Insya Allah Ayah pulang tepat waktu. Nanti kalo ada apa-apa langsung hubungi Ayah, ya."

"Ibu doakan semoga urusan Ayah dilancarkan."

Kemudian Arini maju dua langkah. Meraih tangan Hanan dan mengecupnya dengan tulus.

"Assalamu'alaikum," ucap Hanan.

"Wa'alaikumsalam. Maaf, ya, Ibu gak anterin sampe depan."

Hanan tersenyum maklum saat langkah Arini hanya sampai di ambang pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah. Melihat Arini balas tersenyum padanya, itu sudah lebih dari cukup membuat hati Hanan menghangat.

~🌹🌹🌹~

Kucing dengan bulu oren itu terus mengeong. Tubuhnya yang kurus dan bulunya yang tidak terawat menandakan bahwa makhluk itu adalah hewan jalanan yang hidupnya terlunta-lunta.

Hanan hanya memerhatikan hewan itu dari jauh. Selain karena sedikit merasa risih dengan kondisi tubuh si kucing, Hanan juga memiliki alergi pada mahkluk berbulu halus itu.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now