11 - Tanggung Jawab Tidaklah Mudah

332 57 65
                                    

Langit sudah tidak lagi berwarna biru. Mulai menguning keemasan tanda petang segera datang. Wajar saja, sebab waktu sudah menunjukan pukul 15.45. Sudah saatnya untuk mengakhiri aktivitas dan segera beristirahat bersama keluarga.

Namun, di sinilah Arfan berada. Duduk di antara satuan kursi tunggu yang berderet rapi di depan kelas adiknya. Matanya tak jemu melihat bagaimana beberapa siswa siswi berderet rapi dengan tongkat bambu di sebelahnya, menghasilkan formasi indah dan suara ketukan tongkat yang berirama.

Dan Shafira Adriana adalah salah satu dari pasukan yang berbaris di depan sana.

Adiknya dengan segala sifat aktifnya, mampu mengikuti berbagai ektrakurikuler di sekolahnya. Contohnya sekarang, mengikuti ektra pasukan bertongkat.

Dulu, dirinya bahkan enggan mengikuti ektra apapun. Alasannya bukan karena malas, tetapi karena dirinya malu. Malu untuk beradaptasi dan berbicara banyak dengan orang lain. Alhasil, dirinya hanya mengikuti satu ektra, yaitu desaign grafis. Tidak banyak bicara, tidak butuh banyak bergaul.

"Tanpa penghormatan umun, balik kanan bubar jalan!"

Suara lantang nan kencang dari komandan pasukan tersebut bergema di lapangan. Lalu, terdengar bunyi ketukan tongkat yang bersamaan dengan berbaliknya seluruh pasukan untuk membubarkan diri.

"Bang! Aku ambil tas dulu ya, di dalam," seru Shafira membuat Arfan kembali lagi pada fokusnya.

Sebuah anggukan kecil Arfan berikan sebagai respon.

Tak berselang lama, Shafira kembali menuju ke arah Arfan dengan tas dan beberapa peralatan lainnya.

"Mau mampir dulu gak, di depan?"

"Gak usah, Bang, udah sore juga. Abang pasti udah nungguin lama, 'kan?"

"Tapi air minumnya masih ada?" tanya Arfan kembali.

"Ada, Bang. Sengaja aku bawanya di botol minum yang gede. Biar gak usah beli."

Arfan yang sudah beranjak tidak lantas melanjutkan geraknya untuk melangkah. Memilih terdiam sesaat saat mendengar ucapan Shafira.

"Bang?" Menyadari ketwrdiaman Arfan, Shafira mendadak penasaran. "Kenapa?"

"Uang Abang gak perlu kamu ganti, Fir. Uang jajan kamu disimpen aja buat keperluan yang lain."

"Lho, gak bisa gitu dong, Bang. Ayah bilang itu uang Abang buat keperluan Abang. Lagian, nanti kalo ketauan hukuman aku dari Ayah bakalan lebih parah."

Bukan maksud apa-apa. Arfan sudah terbiasa dengan menghemat uang jajannya, cukup dengan bekal makan yang ia bawa dari rumah. Toh, ia juga jarang nongkrong seperti temannya yang lain. Hanya butuh uang untuk membeli bahan bakar motornya saja. Sedangkan Shafira, adiknya masih belum terbiasa dengan hukuman semacam ini. Jadi, membayar uang pada Arfan hanya akan membuat uang Shafira semakin habis.

"Abang udah ikhlas. Insya Allah gak akan ketauan sama Ayah. Abang udah anggap lunas, asalkan kamu gak ulangin lagi hal kayak kemarin." Arfan berucap tenang. Mencoba membuat Shafira mengerti akan apa yang disampaikannya.

"Bang ... Kenapa baik banget sama aku? Padahal aku kan suka sinis sama Abang." Suara Shafira bergetar. Maniknya sudah memburam dipenuhi genangan yang siap tumpah kapan saja.

Arfan tersenyum lembut. "Wajar bagi seorang Kakak ingin membahagiakan adiknya. Tapi, cuma ini yang Abang bisa. Abang ngerti kok, sikap kamu selama ini karena emang Abang juga yang seolah menutup diri sama kamu."

Tanpa menunggu lama lagi, Shafira segera memangkas jarak dan berakhir memeluk yang lebih tua. Menumpahkan segala keresahan dan kenelangsaan yang selama beberapa hari ini ia pendam sendirian. Iya, memang salahnya yang sudah membuat perkara dengan ayah dan ibunya. Namun, jauh di dalam hati kecilnya, ada kesedihan yang susah diungkapkan, sulit diutarakan, dan rumit untuk diceritakan.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now