25 - Malam Tak Biasa

306 49 40
                                    

Hanan sedikit meringis saat tubuhnya turun dari mobil. Kekhawatiran istrinya tadi pagi memang tidak bisa diremehkan. Nyatanya, demam yang tadi pagi ia anggap biasa saja, kini mulai merambat pada bagian perutnya yang sakit dan terasa mual. Belum lagi napasnya yang terasa berat, seakan oksigen semakin menjauh saat dirinya berusaha meraup.

Melihat keadaannya yang payah, Hanan sempat ditawarkan bantuan untuk dipapah oleh supir ojek online, tetapi dengan sopan ia menolak. Maka, dengan bersusah payah, ia berjalan lemah menuju teras depan rumahnya, padahal jaraknya kurang dari lima meter, tetapi terasa begitu jauh untuk ditempuh.

"Assalamualaikum, Bu." Hanan mengucap salam lemah. Tanpa mengetuk pintu, ia buka dengan perlahan dan segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.

Tiada jawaban, rumah pun terasa sepi. Hanan pikir, mungkin Arini memang belum pulang atau sedang di luar. Jadi, tak ingin membuang tenaga, ia memilih untuk kembali memejamkan mata. Kembali membiarkan rasa panas di perutnya bergejolak, sampai menimbulkan mual dan sesak. Tubuhnya pun terasa lemas, sampai ia tidak lagi bertenaga untuk beranjak ke kamarnya.

"Bu?" Sekali lagi, Hanan memastikan keberadaan istrinya. Namun, keheningan yang didapatnya. Ia mendesah kecewa, tetapi tidak bisa melakukan banyak hal.

Beberapa menit setelah suara paraunya memanggil, suara pintu kamar Biru terbuka. Menampakkan Arini dengan wajah bantal dan mata sembabnya. Andai saja ia tidak sedang kesusahan, dengan segera Hanan pasti akan bertanya tentang hal itu.

"Lho, Ayah kok udah pulang? Ibu tadi ketiduran di kamar Biru." Arini belum sepenuhnya menyadari kondisi, lalu berjalan mendekat ke arah Hanan yang terduduk lemas. "Eh, Ayah sakit?"

Menyadari wajah suaminya pucat, Arini refleks menyentuh dahi dan perpotongan leher Hanan. Sedikit Hawa panas mulai merambat ke tanganya, lebih panas dari tadi pagi sebelum berangkat, sehingga Arini menyimpulkan, bahwa Hanan memang belum sepenuhnya pulih dari sakitnya yang kemarin.

"Perut Ayah gak enak banget, Bu. Rasanya mual ... terus ini agak sesek," jawab Hanan lirih. Masih dengan matanya yang setengah terpejam.

"Ibu ambilkan air hangat dulu, ya." Ucapan Arini tidak terlalu terdengat jelas, tetapi Hanan dapat merasakan Arini membuka simpul dasinya dan membuka dua kancing kemeja teratasnya dengan telaten, sehingga rasa mencekik pada lehernya sedikit berkurang.

Selang beberapa menit berlalu, Hanan menerima satu gelas air hangat yang dibawakan oleh Arini. Selain karena rasa mual yang dirasanya, rasa haus juga cukup membuatnya bisa menandaskan satu gelas air putih tersebut.

"Ayah duduknya yang bener dulu, biar gak sesak." Bantal sofa ditumpuk dan disimpan dibelakang punggung Hanan.

"Segini?"

"Udah, Bu. Segini aja."

Hanan berusaha kembali memejamkan matanya. Meskipun perutnya masih terasa bergejolak dan udara di sekitarnya serasa menghilang.

"Tadi juga Ibu bilang, jangan dulu berangkat. Kan sekarang malah makin parah."

Bukannya Arini tidak menyadari keadaan Hanan yang jauh dari kata baik. Akan tetapi, sifat keras kepala suaminya yang membuatnya terkesan cerewet.

"Ayah baringan di kamar aja, ya. Kuat, gak jalannya?"

Ada jeda beberapa detik. Sebenarnya tenaga Hanan sudah terasa terkuras habis oleh rasa sakitnya, sehingga yang tersisa adalah rasa lemas luar biasa.

Melihat tidak ada respon dari Hanan. Arini masih mencoba untuk membujuk. "Di sini gak nyaman, Yah. Biar diganti juga bajunya. Sini Ibu bantu."

Saat sebelah tangannya mulai ditarik lembut oleh Arini. Hanan akhirnya menurut dan mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Dipapah dengan perlahan sampai akhirnya sampai ke dalam kamar mereka. Sebelum Hanan bersandar pada kepala tempat tidur, Arini kembali menumpuk bantal untuk posisi yang nyaman.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now