28 - Pulang

365 39 49
                                    

"Liat nih, Yah. Anaknya ngomel-ngomel karena gak diizinin buat ikutan jemput pulang."

Arini menunjukan ruang obrolan bersama Shafira pada Hanan di sela kegiatannya membereskan barang. Siang ini, setelah melewati satu minggu berada di rumah sakit, Hanan sudah diperbolehkan untuk pulang dengan segala aturan yang ada. Mulai dari pola makan sampai kepatuhan dalam pengobatan.

"Ya lagian cuma pulang dari rumah sakit. Nanti juga ketemu di rumah." Hanan yang masih setengah berbaring menjawab.

"Tau sendiri anaknya suka ngerengek gitu. Tapi, pas Ibu bilang kalo ini kata Ayah, dia langsung nurut."

"Mas Riyadi masih lama?"

Arini melihat ke arah jam dinding yang menempel di dinding sebelah kanannya. "Sebentar lagi kayaknya, soalnya tadi udah agak lama berangkatnya. Tunggu dulu aja."

"Jadi gak enak ngerepotin Mas Riyadi. Padahal dia juga banyak kerjaan, tapi tetep mau repot ngurus banyak hal di sini."

Kening Arini mengkerut, tidak suka dengan apa yang barusan ia dengar. "Kalau Mas Riyadi denger omongan Ayah, diceramahin panjang lebar, lho."

Satu barang terakhir masuk ke dalam tas yang sengaja dipersiapkan, handuk dan beberapa pakaian ganti. Didekatkan semua barang bawaan, agar mudah dijangkau dan tidak tertinggal. Setelah selesai, kemudian Arini kembali duduk di kursi dekat tempat tidur.

"Bu, Ayah jadi kurus, Ibu juga malah ikutan kurus. Pastinya beberapa hari ke belakang berat banget dan bikin Ibu capek." Arini merasakan punggung tangannya di sentuh lembut. Dengan refleks, matanya menatap sumber stimulus tersebut, sehingga dengan otomatis bibirnya membentuk senyum saat melihat dan merasakan bagaimana tangan hangat Hanan membelai kulitnya.

Melihat bagaimana respon Arini, Hanan kembali berucap, "Ini yang beberapa hari terakhir Ayah rasakan, Bu. Hangat. Tangan Ibu selalu hangat kalau udah genggam."

Tak ada kata yang keluar dari kedua belah bibir Arini, sebab sang empu masih mempertahankan senyumnya.

"Capek Ibu terbayar liat Ayah bisa sembuh lagi. Jadi, sekarang Ayah semangat untuk pemulihannya." Satu tangan Arini turut bertumpu tepat di atas tangan Hanan. Menjadikan kehangatan mereka saling bercumbu dalam tautan.

Tatapan yang sebelumnya penuh binar dan kegembiraan, sedikit surut berganti dengan sorot mendung. Tidak terlihat jelas, tetapi Arini dapat merasakan getarannya. "Kenapa, Yah? "

Hanan tersenyum tipis. "Setelah beberapa hari di sini, dan setelah dengar semua penjelasan Dokter tentang sakit Ayah. Ayah jadi sadar satu hal yang paling penting di hidup Ayah."

"Ayah kayaknya gak pernah bener-bener bikin Ibu bahagia selama kita hidup bersama." Lanjut Hanan lirih.

Senyum Arini pun turut luntur, berubah menjadi kernyitan pada keningnya. "Maksudnya?" tanya Arini tak mengerti.

"Dulu, waktu kita muda. Ibu tau sendiri kalau Ayah bukan orang yang baik. Sering marah, arogan, bahkan pernah main fisik sama Ibu. Kayaknya waktu itu jangankan buat bahagia, ya. Buat menata hati kembali aja Ibu harus berjuang sendirian," ungkap Hanan yang mampu membuat Arini hanya terdiam. Terlalu tiba-tiba untuk membahas hal seperti itu.

"Sekarang, udah kita dapat umur, saat Ayah mau mulai memperbaiki semuanya, Ayah dapat cobaan dengan sakit. Yang pasti bakalan bikin repot Ibu dengan segala macamnya—"

”Ayah gak ngerepotin, kok. Wajar orang sakit butuh bantuan, dan udah jadi kewajiban Ibu buat ngerawat Ayah," sela Arini. Tidak setuju atas apa yang baru saja diungkapkan oleh Hanan.

"Bu ... Orang sakit mana yang gak ngerepotin? Dengan sakitnya dia aja udah jelas bikin orang di sekitarnya harus menaruh perhatian. Belum lagi waktu yang tersita, tenaga buat ngerawatnya, uang yang seharusnya untuk kebutuhan lain, harus atur jadwal makan dan kontrol. Bagian mana yang gak merepotkannya? Harusnya di usia kita saat ini lebih banyak bahagia sebagai gantinya waktu dulu yang gak kita manfaatkan dengan baik." Hanan kian menatap mata Arini dengan intens. Berusaha mencari titik kelam dari legam Arini agar menemukan kejujuran.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now