Special Chapter - Sakit Dalam Diam

295 46 41
                                    

Selama 52 tahun hidupnya, Hanan pernah menjadi makhluk arogan dan serakah. Menghabiskan seluruh waktu yang ia punya demi bekerja dan menghasilkan uang, yang katanya adalah kebahagiaan untuk keluarga. Memforsir seluruh tenaga yang ia punya dan mendedikasikan diri terhadap pekerjaan. Melupakan hak terhadap tubuhnya yang memerlukan istirahat dan nutrisi yang cukup. Tanpa memikirkan akibatnya di lain hari, bahwa kemungkinan besar tubuhnya akan rusak segera perlahan.

Dan sekarang ia merasakan buntut dari pola hidup yang tidak sehat. Rasa sakit yang bermuara pada seluruh bagian tubuhnya, membuat Hanan seakan mati rasa. Tidak lagi mampu mendeskripsikan bagaimana sakit dan nyeri itu. Jelasnya, seluruh anggota tubuhnya terasa dikuliti dan ditusuk-tusuk.

Dalam keadaan sakit seperti ini, mengapa satu detik pun terasa sangat lamban?

Ingin rasanya Hanan menjerit, memberitahukan kepada semua yang hadir di sekitarnya, bahwa yang bisa ia rasakan hanya sakit. Akan tetapi, untuk menghasilkan suara sekadar rintihan pun, dirinya tak mampu.

Sakit

Dirinya bisa apa dengan tubuh yang terkulai lemas di atas ranjang pesakitan dan alat yang menopang kehidupannya, ia benar-benar menjadi makhluk lemah tanpa daya, bahkan untuk membuka mata saja, rasanya berat sampai ia sendiri pun tidak bisa.

Pada akhirnya, semua rasa sakitnya hanya bisa ia nikmati dalam diam.

Matanya memang terpejam, tubuhnya pun lemas nyaris terbujur kaku. Namun, rungunya masih berfungsi dengan baik. Hanan masih bisa mendengar jelas semua suara di sekitarnya. Suara monitor tanda vital tubuhnya yang membosankan. Harapan dan doa Arini yang diselingi obrolan ringan yang hangat, serta keputusasaan dan tangis dari orang-orang sekitarnya yang melebur jadi satu.

Setiap hari, Hanan mendengar semua itu dengan jelas. Maka dari itu, ia selalu berusaha untuk bisa keluar dari lorong yang mengurung dirinya.

Dingin

Gelap

Sendirian

Entah sudah berapa hari ia tidak membuka matanya. Hari ini, seiring dengan rasa sakit yang semakin berlipat menyiksa, terdengar pula isakan tangis dan getar suara mengucapkan kalimat-kalimat indah. Mungkin rasa sakitnya sudah melebihi ambang batas tubuhnya, sehingga perasaan kosong mulai menghampiri Hanan.

"Ayah pasti bakalan sembuh. Ibu bakalan terus usaha dan berdoa."

"Ayah. Kakak akhirnya terpilih buat ikut lomba ke tingkat lanjut. Ayah pokoknya harus cepet sembuh biar bisa nonton aku lomba."

"Abang bentar lagi mau ujian, Yah."

Di mana suara-suara itu? Suara lembut Arini, suara ceria Shafira, dan suara tenang Arfan tiba-tiba saja menghilang dari jangkauannya.

"Epinephrine satu ampul."

Sesuatu yang cukup menyakitinya semakin menjalar dari arah tangannya yang tertancap selang infus. Tiba-tiba saja ia ingin tangannya kembali digenggam oleh Arini atau anak-anaknya. Rasanya sangat pedih, seolah ia benar-benar sendirian di lorong gelap tak berujung. Ia ingin dipeluk, setidaknya untuk menghalau rasa dingin yang kian menjadi.

"Ya Allah, hamba mohon," batin Hanan menjerit.

Andai saja dapat terlihat oleh orang sekitarnya. Hanan sedang menangis tersedu. Mata dan pipinya mungkin saja sudah basah oleh air mata. Semakin lama, ia merasakan tubuhnya tak lagi sanggup. Hanan pikir, setelah sekian lama ia merasakan sakit, ia akan siap menghadapi ini semua. Namun, nyatanya tetap saja begitu menyiksa.

Kalau saja memang sudah ini waktunya. Jika memang sampai sini umurnya. Hanan hanya memohon satu hal. Izinkan dia merasakan bagaimana sentuhan orang terkasihnya. Izinkan dia bisa mendengar bisikan yang berisi tuntunan di penghujung usianya. Karena untuk melakukannya seorang diri, Hanan tidak mampu.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now