21 - Pengakuan dan Pengampunan

299 42 31
                                    

Semenjak konflik yang melibatkan Andri di dalamnya, Hanan dan Arini tidak bisa baik-baik saja setelahnya. Hanan memang tidak membentak atau mengeluarkan kata-kata kasar, tetapi dari cara bicaranya yang dingin dan seperlumya, Arini dapat menyimpulkan bahwa Hanan lebih dari kata marah.

Hanan kecewa.

Arini mengakui, bahwa tindakannya kali ini memang sudah lebih dari gegabah. Wajar Hanan sampai seperti ini. Di tambah keluarganya masih dalam kondisi berduka. Masalah datang satu per satu, tetapi belum ada titik temunya satu pun. Dan kini, Arini menambah beban masalah itu dengan dalih ingin membantu meringankan masalah suaminya.

Dua hari yang lalu, acara tujuh hari Biru baru saja diadakan. Beberapa sanak saudaranya berdatangan untuk membantu menyiapkan acara tersebut, termasuk Riyadi dan Desi —kakak laki-laki Arini. Biasanya, mereka berdua akan menginap lebih lama. Selain karena jarak rumah mereka yang jauh, Riyadi adalah saudara yang paling dekat dengan Arini.

Namun, kali ini mereka berdua menyadari satu hal. Ada yang tidak biasa dari Hanan dan Arini. Tak ingin ikut campur dengan masalah adiknya, maka Riyadi dan istrinya memilih pulang lebih cepat. Ada pekerjaan katanya.

"Kalo kamu ada masalah sama suamimu. Selesaikan baik-baik, Nduk. Kalian udah tua, moso Mas harus ikut turun tangan selesaikan masalah kalian. Diturunin lagi egonya. Kasian anak-anak kalian."

Begitu pesan Riyadi sesaat sebelum kembali pulang ke rumahnya di Yogyakarta. Kala itu, Arini hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk menutupi semuanya. Akan tetapi, dalam hati ia berteriak kencang, membantah tuduhan kakak lelakinya itu tentang masalah rumah tangganya.

Ini bukan hanya sekadar ego.

Namun, Arini bisa apa sekarang?

Ia menyesal. Ia mengakui semua kesalahannya, tetapi ia tidak bisa mengembalikan keadaan. Kalau pun bisa, sudah ia lakukan dari jauh-jauh hari agar ia bisa memperbaiki kesalahannya. Namun, ia tidak bisa. Yang dilakukan hanya berpangku tangan dan mendorong dengan doa. Ia tidak ingin tindakannya kembali salah dan mengakibatkan semua orang susah.

"Ini biarkan jadi masalah Ayah. Ibu fokus aja sama anak-anak. Ayah gak salah, Insya Allah ada jalan terbaiknya."

Itu ucapan terakhir yang Arini dengar terakhir kali sebelum Hanan menjadi diam. Jujur saja, walaupun sering sakit hati, Arini lebih baik dimarahi atau dibentak oleh Hanan ketimbang harus didiankan seperti ini. Rasanya menjadi serba salah. Ingin melakukan sesuatu takut gegabah. Tidak melakukan apapun juga malah menjadi resah.

"Bu. Di luar ada tamu." Suara Arfan membuyarkan rangkaian benang kusut dalam pikirannya.

Buru-buru ia simpan ember dan beberapa tumpuk pakaian kering di kursi ruang tengah. Dengan segera pula ia merapikan rambutnya yang tidak terikat sempurna.

"Siapa, Nak?"

"Kayaknya rekan kerja Ayah, soalnya nanyain Ayah," jawab Arfan yang masih betah dengan posisinya.

Sambil masih mengikat rambutnya. Arini kemudian berkata, "Udah dipanggil belum Ayahnya?"

Arfan mengangguk di tempat. "Udah, Bu. Tapi, Ayah lagi di kamar mandi."

Arini segera melesat menuju pintu utama. Akan mempersilahkan tamunya masuk ke dalam dan menjamu dengan makanan ringan. Namun, ucapannya hanya mengambang di udara saat melihat siapa tamu yang datang di sore hari. Sepasang suami istri dengan wajah yang sulit diartikan oleh Arini.

"Mas Andri." Saat namanya disebutkan. Andri yang saat itu sedang menatap kosong ke arah depan segera menoleh, begitu pun dengan sosok wanita di sebelahnya.

"Selamat sore, Bu," sapa Andri dan wanita itu, kemudian menyalami Arini satu per satu.

"Ada perlu apa ya, Mas? Mau ketemu Bapak?"

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now