22 - Yah, Kita Keluarga, 'kan?

292 47 51
                                    

Menjadi pendengar bukanlah yang mudah untuk dijalani. Seorang pendengar harus terus bertahan mendengarkan sebuah cerita dan keluh kesah orang lain, tidak peduli bahwa dirinya pun butuh untuk didengarkan. Seorang pendengar harus tetap diam agar apa yang telah didengarnya bisa diproses dan berakhir dengan memberikan solusi, walaupun pada akhirnya tetap saja tidak didengarkan. Mereka akan tetap teguh pada pendiriannya. Tetap diam, memendam semuanya, dan akan tetap menjadi si pendengar yang seolah menjadi bisu.

Bukan keinginannya untuk tetap terus diam dan memendamnya, tetapi memang situasi dan kondisi yang menyebabkan hal tersebut terpaksa terjadi. Arfan ingin juga bisa berteriak bebas untuk menyuarakan apa saja yang ia pendam selama ini. Seolah takdir pun merestui posisinya saat ini, ia selalu menjadi pihak yang mendengar apa saja yang seharusnya tidak ia dengar. Sayangnya, ia tidak cukup mempunyai keberanian untuk bisa meluapkan segalanya.

Arfan mendengar semua permasalahn antara ayah dan ibunya, mulai dari kasus yang menjerat ayahnya, mendengar pula apa yang mencikal bakali perang dingin ayah dan ibunya, serta mendengar pula berapa biaya yang dikeluarkan oleh keluarganya untuk mengganti kerugian kasus ayahnya. Mungkin, ayahnya bisa terbebas dari penjara yang sebelumnya selalu mengancam ketenangan keluarga, mungkin masalah di kantornya bisa dianggap selesai sekejap mata karena uang dan pihak yang bersalah telah mengakui kejahatannya. Namun, apakah keluarganya bisa kembali seperti sebelumnya? Jelas saja banyak yang berubah. Mulai dari ketegangan yang semakin hari semakin terasa, serta merosotnya perekonomian keluarganya. Ayah dan ibunya mungkin tidak berbicara langsung kepadanya dan Shafira, tetapi bukan berarti Arfan tidak tahu. Sudah dibilang, bahwa semesta seolah memberikan kesempatan pada dirinya yntuk mendengar hal itu langsung dari ayah ibunya yang sedikit berseteru di malam hari.

"Lho, ternyata Abangnya di sini, Kak!" Hanan sedikit berseru keras ke arah dalam. Arfan yang merasa terpanggil segera menoleh untuk memastikan. Ayahnya datang dengan segelas kopi, sedangkan laptopnya sudah teronggok di atas meja teras depan. Suata kebiasaan yang kembali dilakukan setelah masalah di keluarganya sedikit mereda.

"Kenapa, Yah?" tanya Arfan penasaran.

"Itu tadi Fira nanyain Abang ada di mana, mau nanyain tugas katanya," kata Arfan sambil mendudukan dirinya di sebelah Arfan. Kopi yang ia bawa di letakkan di atas meja. Dibiarkan uapnya mengepul sampai aroma khasnya menggelitik indra penciuman Arfan.

"Ayah perasaan tadi pulang kerja baru ngopi, deh. Sekarang udah minum kopi lagi," komentar Arfan setelah beberapa jenak memerhatikan pergerakan uap kopi ayahnya.

"Gak enak kalo abis makan gak gopi tuh, Bang. Kalo tadi karena ayah capek banget, kalo abis ngopi biasanya seger lagi," sahut Hanan dengan sedikit diiringi kekehan di akhir kalimatnya.

Arfan tak lagi berkomentar, padahal dalam benaknya ingin sekali ia mengatakan banyak hal. Mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk kesehatan ayahnya, mengatakan untuk bisa mengatur konsumsi kafein dan gula setiap harinya, mengatakan bahwa kopi bukanlah hal yang bagus untuk dikonsumsi di kala stress. Akan tetapi, kembali pada prinsip awal milik Arfan, bahwa ia hanya bisa mendengarkan, sehingga pada akhirnya hal yang tadi sangat ingin ia sampaikan hanya tertahan di tenggorokan.

Dan pada akhirnya, hanya sebuah kalimat yang mampu Arfan ucapkan, "Jangan kebanyakan minum kopi, Yah!" lirihnya.

"Susah, Bang. Udah suka dari muda soalnya," jawab Hanan sekenanya, sebab matanya masih fokus pada monitor laptopnya.

Jika sudah mendapat jawaban seperti itu, Arfan harus bagaimana?

Namun, atensinya teralihkan saat suara gelas pecah begitu nyaring di telinganya. Suaranya bersumber dari gelas kopi yang tadi dibawa oleh Hanan, dan kini hanya tersisa serpihan beling beserta kopi yang tumpah begitu saja. Kedua laki-laki itu segera berjongkok untuk membereskan kekacauan yang terjadi.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Where stories live. Discover now