Dari Gianno

312 71 23
                                    


Pertama kali ketemu sama Gistara, gue nggak terlalu mengharapkan hal yang lebih ke dia. Gue hanya menganggap Gista sebagai teman sebangku, partner contek menyontek, dan pinjam meminjam buku catatan, juga jadi tameng saat salah satu dari kita pengen tidur di kelas biar nggak ketahuan guru.

As the time went by, I didn't expect that I became attached to her.

Lama-lama jadi sering ke kantin bareng, ngerjain tugas bareng, main bareng, bolos bareng—dan gitu aja sampai nggak terasa udah bertahun-tahun gue temenan sama Gista.

Orang yang gue hubungi pertama kali saat kepepet, ya Gista—dan Gistapun begitu. Kita jadi terbiasa menggantungkan hidup satu sama lain, sampai gue nggak bisa ngebayangin hidup tanpa Gistara Anindya Astari.

Gue tahu, ketika Gista punya pacar, maka gue bakal tersisih. Waktu Gista bakal lebih banyak dihabiskan sama pacarnya daripada gue—dan gue harus terima itu. Gue nggak bisa nolak, nggak bisa bilang enggak, padahal kenyataannya, gue pengen bilang begitu sama Gista.

Tapi ketika dia putus sama pacarnya, telepon gue sambil nangis-nangis, entah kenapa gue malah lega.

Sounds vile, isn't? But that's the fact.

Gue lega, karena pada akhirnya, gue jadi punya waktu lebih sama Gista lagi. But it didn't last for long. Karena dalam waktu singkat, dia akan menemukan laki-laki baru—lalu dalam hitungan bulan bahkan minggu, Gista jadian lagi.

Bun, hidup berjalan seperti bajingan.

Pfft.

Yah, mau gimana lagi? Memang ada dua tipe manusia dalam urusan asmara. Yang pertama, mereka yang cuek dan nggak terlalu peduli apakah punya pacar atau nggak. Lalu yang kedua, mereka yang memang terlahir nggak bisa hidup jomblo alias harus punya pasangan.

Kebetulan, gue tipe yang pertama dan Gista adalah tipe yang kedua.

Tapi apa iya? Apa iya gue tipe yang pertama, sementara kalau lihat Gista sama cowok lain rasanya jadi nggak keruan?

Apa iya gue tipe yang pertama, sementara hampir tiap hari gue membayangkan gimana rasanya jadi pasangan hidup Gista?

Apa iya gue tipe yang pertama, sementara gue selalu mengharapkan Gista putus begitu dia mengumumkan punya pacar baru?

Pfft.

Kalau ditanya, apa yang bikin gue sayang sama dia, guepun enggak tahu jawabannya.

Karena dia cantik? She is pretty, tapi gue rasa bukan karena itu.

Karena dia pintar? She is smart, tapi bukan karena itu juga.

Karena dia ramah, peduli, dan selalu memastikan orang-orang terdekatnya bahagia? Kadang kelewatan ramahnya, tapi bukan karena itu juga.

I wish I knew, but I didn't.

Gue pun sangat pengen tahu apa yang bikin gue sesayang itu sama dia, sampai nggak mau melihat cewek lain. Sampai cewek-cewek yang datang ke gue berujung kecewa karena gue sama sekali menghiraukan perasaan mereka. Sampai-sampai, gue nggak tahu harus apa kalau bukan Gistara orangnya.

Kalau gue tahu alasannya, mungkin gue bisa coba buat berhenti—tapi ini enggak.

I love her because it just did. Love is chemical reaction and my high levels of dopamine and norepinephrine is only released when I'm with her. It just happened that way.

And I'm such a coward for not having enough courage to tell her ... 'I love you'.

Rasa takut kehilangan dia lebih besar dari cinta gue ke dia. Rasa ingin terus melindungi dia lebih besar dari rasa sayang gue ke diri sendiri. Dan gue ingin jadi laki-laki yang selalu ada buat Gistara, terutama setelah sahabat gue itu ditinggal ayahnya pergi untuk selama-lamanya.

Tujuh tahun berlalu sejak kepergian Om Rahdian, dan kadang gue merasa Gista belum bisa merelakan sosok lelaki kesayangannya itu. Kadang dia masih suka melamun memandang langit—kebiasaan yang nggak pernah hilang setelah Om Rahdian pergi. Gista juga masih suka tiba-tiba bangun dari tidurnya lalu pindah tidur ke sofa tempat ayahnya biasa tidur.

Sahabat gue itu masih suka memandangi motor Supra tua milik Om Rahdian yang nggak pernah dipakai—dan entah kenapa nggak dijual juga, lalu menghapus jejak air mata setelahnya.

Berpura-pura tegar demi bundanya.

Kadang gue sadar, kalau Gista lagi kangen Om Rahdian, dia selalu pakai kaus tua ayahnya. Seolah mencari entah bau apa yang tersisa dari sang ayah di kain tua itu.

"Baunya kayak ayah waktu habis pakai minyak tawon," katanya. Meskipun gue yakin, itu cuma sugesti atau rasa frustasinya Gista yang begitu merindukan sang ayah tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa.

Maka sebagai jawabannya, gue nggak akan bilang apa-apa. Begitu tahu kalau Gista lagi kangen ayahnya, gue membuka lebar-lebar tangan, minta dia mendekat, lalu memeluknya.

Setelah itu, Gista pasti menangis lalu menggumamkan kata-kata seperti, "Kangen".

Dia hanya bisa menangisi ayahnya di hadapan gue. Nggak di hadapan bundanya, bahkan adik laki-lakinya. Gue tahu, Gista nggak mau membuat mereka khawatir karena dia masih belum benar-benar bisa menerima kepergian ayahnya.

Di depan gue-lah Gista bisa benar-benar menjadi Gistara Anindya Astari.

Dan Gista nggak pernah tahu, di hari kepergian ayahnya itu, gue pernah berjanji bahwa gue bakal selalu melindungi dan menjaga Gista dengan segenap hati, pikiran, dan tenaga yang gue punya.

***

AUTHOR NOTE:

Eak, sekali-kali piyak jadi sad boy

What do u think? Gian harus menyerah, atau Gian harus jujur sama Gista?

Wishful ThinkingМесто, где живут истории. Откройте их для себя