Dari Gistara

289 72 26
                                    


Kalau ditanya, apa arti Gianno buat gue itu ... hmm ... gue nggak pernah bisa jawab. Twin flame? Soulmate? Saudara beda bapak dan ibu? Nggak tahu, gue nggak tahu pasti. Yang jelas eksistensi Gianno Mahendra Prastowo itu udah lebih dari sekadar sahabat dan teman bicara buat gue.

Dia adalah orang paling nggak judgemental yang pernah gue temui dalam hidup, and I'm so grateful for that.

Dia nggak pernah ngetawain obsesi gue sama zodiak—meskipun gue tahu dia gatel pengen counter-argument, secara, Gian adalah orang yang rasional. But he keep those long-ass arguments to himself anyway. Nggak pernah menganggap aneh hobi gue main game Plants vs Zombies dan bisa badmood seharian kalau gue kalah atau game-nya nggak sengaja ke-reset. Dan tahu bagaimana memposisikan dirinya dengan seribu mood yang gue punya.

Nggak semua laki-laki bisa begitu—termasuk mantan-mantan gue.

Gue bukan tipe orang yang selalu pengen dimengerti kok sebenernya, tapi yang gue apresiasi dari Gian adalah—tanpa gue harus banyak bicara pun, dia tahu harus apa.

Dia tahu kapan harus ngomel dan banyak ceramahin gue dan kapan harus diem—tahu kalau gue hanya butuh satu pelukan, lalu semuanya bakal kembali seperti semula.

Nggak ada satupun mantan-mantan gue yang level pengertiannya sama seperti Gian. Mendekati pun nggak ada. Gian is number one.

Dan tanpa sadar, karena gue lama sama Gian, terbiasa apa-apa sama dia, terbiasa diperlakukan baik sama dia (mungkin minus omongannya yang pedes, blak-blakan, dan kena di hati), gue jadi membandingkan Gian dengan mantan-mantan gue.

Kok Gian bisa begini, mantan gue enggak?

Tanpa sadar gue menerapkan standar Gian ke mantan-mantan gue, padahal orang punya caranya masing-masing buat menyayangi.

Jadinya, mantan-mantan gue punya alasan buat gedeg sama Gianno. Padahal dia nggak pernah ngapa-ngapain.

Ya, gara-gara gue.

"Apa-apa Gian, dikit-dikit Gian. Semuanya aja Gian," kata Ilham.

"Sama Gian lagi?" kata Angga.

"Kamu nggak punya temen selain Gian emangnya?" kata Reno.

"Gian tuh nggak punya kerjaan? Katanya dokter gigi kok kayaknya gabut banget ngurusin kamu terus," kata Bayu.

"Kalau aku minta Gian agak jaga jarak sama kamu, kira-kira dia bakal mau nggak?" kata Brian.

Ya gimana, pada kenyataannya gue tuh udah terbiasa apa-apa sama Gian. Gue terbiasa ada di sisi dia ketika Gian terpuruk, dan begitu sebaliknya.

Mungkin cuma orang-orang terdekat kita yang tahu bahwa gue sama Gian itu udah nyaris nggak terpisahkan. Di mana ada gue, di situ ada Gian.

Dan udah kayak orang mau menikah, keluarga gue sama keluarga Gian juga deket banget. Bunda nggak pernah cerewet kalau gue pergi sampai malam sama Gian. Bahkan kalau gue nggak pulangpun, beliau nggak khawatir selama gue perginya sama Gianno.

Kalau perginya sama laki-laki lain, jam sepuluh malam aja udah dicariin. Dan kalau kemalaman sedikit, ngomelnya bisa sepanjang perjalanan Jakarta sampai Surabaya.

Gue juga sering dikirimin macam-macam sama Papa dan Mamanya Gianno—makanan, oleh-oleh kalau mereka dari luar kota atau luar negeri, sampai obat-obatan Cina karena tahu gue punya GERD kronis.

Mama Gian tahu apa makanan kesukaan gue, dan tiap masak itu, gue pasti dikirimi. Papa Gian lebih aneh lagi. Kalau dia menemukan artikel gue waktu lagi baca berita, beliau langsung screenshoot dan kirim ke gue. Sending lots of encouragement dan memuji bahwa artikel yang gue tulis bagus dan sangat in depth.

Keluarga Gian itulah yang bikin gue merasa punya keluarga yang utuh lagi setelah ditinggal ayah. Bagaimana mereka merangkul gue setelah kehilangan ayah, cukup bikin gue nggak bisa berkata-kata.

Cuma di depan Gian-lah gue nggak berusaha tegar atau sok kuat. Karena nyatanya, gue masih terus memikirkan kepergian ayah.

Ketika melihat gue begitu, Gian nggak pernah banyak bicara. Dia membiarkan gue sampai selesai dengan wave of emotions yang tiba-tiba muncul, lalu memberikan pelukan ketika gue sedikit lebih tenang.

"Berdoa," katanya.

"Ayo habis ini mampir ke tempat ayah," katanya juga.

Cuma dua kalimat itu yang biasa diucapkan Gian ketika gue lagi sedih karena kangen ayah.

Setelah gue baikan, dia lalu membelikan seporsi bakso kuah pedas, sambil mewanti-wanti buat minum Promag kalau perut gue tiba-tiba sakit.

Tuh kan, emang nggak ada yang bisa menyamai level Gian dalam memperlakukan gue—kecuali ayah. Tapi ayah udah nggak ada dan Gian otomatis jadi the last man standing.

Padahal dulu waktu pertama kali ketemu, ngebayangin bisa sedekat ini sama Gianno aja nggak bisa. Dia dulu terlihat sangat untouchable—sampai sekarang pun masih. Mana kerjaannya tidur mulu tapi nilai selalu bagus. Hobi pinjam buku catatan gue lalu difotokopi karena tulisan gue bagus.

Waktu SMA, kita beda sekolah. Dia di sekolah khusus laki-laki dan gue di sekolah khusus perempuan. Tapi itu nggak bikin kita makin renggang, yang ada malah makin lengket kayak perangko sama amplopnya.

Pernah suatu kali dia jemput gue pakai vespa entah punya siapa. Suaranya sangat memekakkan telinga sampai jadi pusat perhatian di sekolah gue. Lalu ajak gue muter keliling kota, beli batagor, dan beli es doger kesukaan kita.

Waktu gue tanya kenapa, dia cuma menggeleng. Gian bilang, dia pengen ngerasain hal baru sama gue.

"Waktu gue lihat vespanya Chandra, hal pertama yang muncul di otak gue waktu itu adalah pengen ngajak lo jalan," katanya.

"Kenapa bukan cewek lain?" tanya gue.

Gian menggeleng. "Nggak pernah kepikiran cewek lain."

Dan ya memang begitu. Gian nggak pernah terlihat dekat sama cewek lain. Paling mentok jalan berdua sekali atau dua kali habis itu udah. Waktu ditanya kenapa nggak lanjut, Gian cuma jawab, "Nggak ah, orangnya suka ngomongin hal nggak masuk akal," atau "Beda frekuensi."

Lah, padahal gue demen bahas zodiak, tapi Gian betah-betah aja.

Tapi gue jadi mikir, seandainya Gian beneran akhirnya dekat sama cewek terus mereka pacaran, apakah gue bisa jaga jarak sama dia? Apakah gue bisa rela untuk nggak terus-terusan mengandalkan Gian sementara beberapa tahun belakangan gue terbiasa sama dia?

Gue sayang Gian dan pengen dia bahagia. Tapi kalau dia menemukan kebahagiaannya di cewek lain dan akhirnya perlahan menjauh dari gue, apakah gue bisa terima?

Gue selalu tanya hal-hal itu ke diri sendiri, dan jawabannya bikin gue merinding.

Karena gue tahu, gue nggak bisa jauh dari Gianno Mahendra Prastowo.

***

AUTHOR NOTE:

Entah kenapa kadang aku suka bikin sayangku yg satu ini agak berbeda dari imej-nya. Alias jadi cewek ebyek dan bobrok wkwk. Lucu aja gitu.

What do you think?

Apakah Gista menyayangi Gian lebih dari temen? Apa Gian bisa berharap cintanya berbalas? Atau selamanya cuma mentok di friendzone?

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now