24 - Hope Is A Dangerous Thing

193 39 51
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Tujuh bulan kemudian ...

"Hallo, Dok ..."

"..."

"Baik, Dok. Saya segera ke sana."

"..."

"Baik. Nanti saya cek lagi, Dok."

Pip!

Sambungan telepon Gian dan Dokter Arnas terputus lalu mata lelaki itu terarah pada lock screen yang baru-baru ini ia ganti. Gian tersenyum tipis sementara matanya masih lekat memandang foto candid Gistara yang dia ambil ketika mereka liburan di Bali beberapa bulan yang lalu.

Gian sudah nggak bisa menghitung berapa lama dia terpisah dengan Gista—dan bahkan nggak tahu sama sekali kabar gadis itu karena Mikha dan Bunda menolak untuk bercerita apapun. Rasanya sudah lama sekali sejak dia meminta Gista untuk kembali padanya, tapi detik demi detik dia lalui sembari meyakinkan diri bahwa gadisnya akan kembali.

Dia menghargai keinginan Gista yang meminta waktu untuk dirinya sendiri, meskipun awalnya, Gian banyak bertanya-tanya di dalam kepalanya. Kenapa harus sendiri kalau berdua lebih baik? Kenapa Gista sama sekali nggak mau berhubungan dengannya sampai selama ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu belum ada jawabannya. Meskipun lama Gian berpikir, tapi dia nggak kunjung menemukan jawaban. Namun lelaki itu memercayai kata hatinya, dia yakin Gista akan kembali padanya, maka dia akan memberi waktu sebanyak yang gadis itu mau untuk menyendiri.

Waktu demi waktu berlalu dan rindu Gian semakin besar tiap harinya. Nggak ada hari tanpa memikirkan Gista. Sampai pada akhirnya, dia mengganti semua lock screen dan home screen gadget-nya menjadi foto gadis itu. Paling tidak, melihat foto senyum gadis itu bisa membuat hatinya tenang.

"Sekali seumur hidup gue pengen nyoba jadi Gista deh."

Suara di belakang Gian mengagetkannya. Dia melihat sosok Anna yang baru keluar dari IGD tak sengaja mengintip ponsel Gian.

"Two men—maybe more, head over heels with her," lanjutnya gamang.

"No—not you, Ann," balas Gian sambil menggeleng. "Omong-omong, lo kedengeran sedih banget."

"Pengen tahu rasanya disayangi sampai sebegitunya sama cowok," kata Anna.

Gian menatap Anna lalu menghela napas panjang. Sebenarnya ini bukan saatnya dia mengasihani seseorang jika pada kenyataannya dialah yang perlu dikasihani. Tapi melihat Anna begini, mau nggak mau Gian bersimpati juga.

"Chandra juga nanti bakal begitu sama lo."

Anna menggeleng kuat. "Nggak, nggak mungkin. Gue tahu berapa lama dia mendam perasaannya ke Gista."

"Why don't you tell him?"

"Jawabannya sama kayak kenapa Chandra nggak bilang perasaannya sama Gista pada awalnya, because I know the answer," tegas Anna. "Buat apa menduga-duga kalau dalam hati yang paling dalam gue tahu jawabannya."

"Coba dulu?"

"Ini bukan makanan yang bisa dicoba sebelum beli, Yan. Ini masalah perasaan," ucap Anna lagi. "Tahu nggak, lo tuh lebih beruntung dari gue. Paling nggak, lo tahu kalau Gista juga sayang sama lo. Kalau gue sih, emang udah kalah sebelum berperang."

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now