08 - In The End We Only Regret The Chances We Didn't Take

211 54 60
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Gian dan Gista baru bisa merebahkan diri untuk tidur saat keduanya sepakat—meskipun dengan penuh perdebatan—untuk tidur di kamar. Awalnya Gista menolak mati-matian karena merasa sofa di ruang tengah rumahnya itu adalah tempat ternyaman. Tapi Gian juga bersikeras agar sahabatnya itu tidak tidur di tempat yang terlalu terbuka. Apalagi udara malam bisa dengan mudah menembus masuk dan membuat Gista lebih sakit dari sekarang.

Setelah diwarnai perdebatan kekanak-kanakan, Gista akhirnya mengalah karena Gian tiba-tiba berubah jadi mode galak dan nggak bisa dibantah. Dia bahkan mengancam bakal lapor Bunda kalau Gista nggak menurut. Dan kalau sampai Bunda tahu anak sulungnya sakit lagi, beliau bakal langsung minta dipulangkan oleh Budhe Minarni.

Malam itu, Gian mengambil kasur tambahan dari kamar Mikha. Biasanya dia nggak masalah tidur di samping Gista, dan Gista pun demikian. Toh, mereka hanya tidur dan nggak melakukan hal macam-macam. Tapi malam ini, Gian terpaksa ambil kasur tambahan karena Gista masih ngambek akibat kalah debat. Selain itu, Gista juga nggak mau menularkan penyakit pada sahabatnya karena gadis itu sedang flu berat.

Setelah memastikan Gista nyaman dalam tidurnya, Gian ikut berbaring. Lelaki itu menghadapkan tubuhnya ke arah Gista, menatap mata sahabatnya yang kini mulai sayu akibat pengaruh obat. Dia meletakkan lagi tangannya di dahi Gista, dan merasakan suhu tubuh gadis itu sudah mulai turun. Kelegaan meliputi hatinya.

"Thanks ..." kata Gista dalam suara mengantuk.

"Anytime, Gista," balas Gian. "Lain kali nggak perlu nerobos hujan buat ketemu gue. Lo tinggal bilang kalau mau ketemu, pasti gue datengin."

Gista sempat terkekeh. "Tapi kan lo lagi marah sama gue ..."

"Gue nggak pernah bisa marah lama-lama sama lo, Gis."

"Gue juga paling nggak bisa dicuekin sama lo, Yan," kata Gista lagi. "You've been there since I was 13 years old. We went through thin and thick together—wait, ini kenapa kesannya kayak suami istri yang baikan setelah berantem ya?"

Gian nggak mengatakan apapun. Lelaki itu hanya tersenyum lalu kembali meraih tangan Gista yang terkulai untuk ia genggam.

"Nighty night, Iyan."

Gian makin mengeratkan genggamannya.

***

Pagi itu Gian bangun lebih dulu setelah mendengar alarm ponselnya berbunyi. Untungnya hari ini Sabtu. Dia nggak ada praktek dan baru akan ke rumah sakit pada siang harinya untuk menyelesaikan laporan.

Tak seperti biasanya, pagi ini tubuh Gian terasa lebih segar. Tidurnya nyenyak dan nyaris tanpa mimpi. Gian hanya bermimpi—atau lebih tepatnya flashback kenangan masa lalunya bersama Gista saat mereka berdua pergi ke Taman Bunga Nusantara bertahun-tahun yang lalu.

Setelah memaksakan diri untuk bangkit, Gian sempat mengecek Gista yang masih terlelap. Untungnya suhu tubuh gadis itu sudah turun sejak semalam, namun masih terasa agak hangat. Dengan suara sepelan mungkin, Gian bangkit lalu menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi mereka berdua.

Namun setelah bermenit-menit menatap berbagai jenis lauk dan sayuran mentah yang sudah dia keluarkan dari kulkas, Gian hanya bisa melongo. Dia nggak tahu mulai dari mana. Pengetahuannya tentang dapur berbanding terbalik dengan pengetahuannya tentang kesehatan. Bukan seperti Gista yang jago memasak, Gian sedari kecil terbiasa dilayani oleh pembantu rumah tangga. Apalagi dia anak tunggal, nggak punya adik yang harus diurus.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now