25 - All This Distance Has Me Missing

292 48 57
                                    

PS: Vote and comment are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Gian melihat sebagian besar lampu rumahnya telah menggelap. Hanya ada penerangan dari lampu taman depan dan belakang. Cahayanya membias, menguarkan suasana sendu bagi lelaki itu. Sudah berapa lama dia melakukan ini? Berlama-lama di rumah sakit sampai pikirannya tenang lalu kembali ke rumah. Besok paginya dia bakal kena omel Mama panjang lebar karena jam kerja yang menurutnya tak wajar, dan Gian hanya akan beralasan "Lagi banyak operasi, Ma."

Sekarang setelah semua pertanyaan di kepalanya terjawab, dia masih seperti itu. Agaknya lelaki itu merasa sedikit menyesal karena mengatakan hal itu pada Chandra. Bagaimana kalau ternyata Gista malah memilih Chandra? Bagaimana kalau hubungannya dengan Chandra justru memburuk?

Kayaknya penyakit overthinking Gista lama-lama mulai menular ke Gian.

Lelaki itu kemudian masuk ke dalam rumah. Samar-samar dia mencium aroma nasi goreng merah depan komplek kesukaan orangtuanya—dan Gista. Paling nggak dia bakal makan malam enak sebelum tidur. Malam-malam sebelumnya, Mama enggan menyisakan makanan untuk anak tunggalnya karena belakangan ini jarang menyisihkan waktu untuk orangtuanya.

Saat langkah kakinya menuju dapur, tiba-tiba lampu menyala. Gian merasakan jantungnya merosot ke perut. Sesaat mengira kalau perampok masuk ke dalam rumahnya, namun ternyata hanya Mama dengan tatapan tajam. Tubuh wanita paruh baya itu bersandar ke lemari pendingin.

Ditatap seperti itu, Gian hanya bisa kikuk. Selama 29 tahun hidupnya, dia tahu betul gelagat Mama—termasuk saat ini. He's in a big, big trouble.

"Duduk," perintah Mama.

"Can I eat first? I am starving, Ma."

"Duduk dulu."

Gian menyerah lalu duduk di meja makan. Menunggu entah apa yang akan dikatakan dan dilakukan ibunya itu.

"Kayaknya kamu udah nggak pernah dengerin Mama lagi ya?"

"Bukan begitu—"

"Mama mau ngomong tanpa dibantah, Gianno Mahendra Prastowo."

Mantap. Sekarang Mama sudah menyebut nama lengkapnya—yang artinya, Mama sudah benar-benar muak.

Setelah memastikan Gian diam dan mendengarkan, Mama buka suara lagi. "Sampai kapan mau begini?"

Gian terdiam lama dan Mama menunggunya. "Aku boleh jawab enggak nih?"

Mama mendengus tapi tetap mengangguk.

"Mama kan tahu, aku dokter. Mama harus paham hal-hal kayak gini," jelas Gian. "Kalau Mama berharap aku kayak Papa yang hampir tiap hari bisa makan malam di rumah, maka sebelumnya, aku minta maaf dulu. Aku enggak bisa begitu, Ma."

"Dulu kamu juga kayak Papa, Iyan."

"Sekarang lagi banyak banget operasi, Ma," jelas Gian lagi. "Mama tahu sendiri aku sekarang juga kepala residen. Aku punya beberapa junior di bawahku, ngecek laporan mereka sementara aku juga ngerjain laporanku, praktek tiap pagi—"

"Mama rasa masalahnya bukan itu, Gian."

Gian mendongak lalu menaikkan salah satu alisnya.

"Mama masih sering kontakan sama Gista, dan dia sering nanyain kabar kamu," kata Mama tiba-tiba sambil duduk di depan putranya yang kini tengah kebingungan.

"Ma?"

Mama menggeleng. "Mama nggak tahu Gista ada di mana, tapi Mama masih sering berhubungan sama dia. She seems okay, tapi nggak pernah mau kasih tahu dia ada di mana. Kayaknya dia tahu kalau Mama bakal bilang ke kamu as soon as I know where she is."

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now