03 - The Ram Reached Fever Pitch

212 57 61
                                    


PS: This chapter is long-ass one. Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Gian agak menyesal semalam ngomong hal menurutnya agak nyeleneh ke Levi. Jadinya lelaki itu sering memandangnya dengan pandangan ingin tahu. Misalnya waktu mereka berdua nggak sengaja berpapasan di kantin rumah sakit pukul lima pagi. Dan jujur aja, itu bikin Gian keki.

Lagian Levi aneh-aneh juga. Segala pakai wira-wiri di depan kamar Gista terus celingak-celinguk kayak maling mau ambil barang. Gian yang nyawanya belum kekumpul jadinya berpikiran yang enggak-enggak.

Tadi pagi, Bunda datang pukul setengah tujuh pagi diantar tetangganya yang kebetulan bekerja sebagai perawat di sini. Saat Bunda datang, baik Gian dan Gista masih tertidur pulas. Gian baru bangun saat mendengar suara samar-samar Gista mengeluh perutnya terasa kembung.

"Minum obat anti mual aja dulu, Gis," kata Gian sambil mengecek jam dinding. "Sebentar lagi sarapan dateng. Gue mau bebersih sama mandi dulu."

"Gian nggak mandi di sini aja, Nak?" tanya Bunda.

"Scrub aku ada di ruangan istirahat, Bun. Jadi aku mandi di sana aja."

"Sarapan dulu ya?" tawar Bunda.

Gian tersenyum lembut pada sosok wanita paruh baya yang sudah ia anggap ibu keduanya itu. "Nanti sebelum praktek Gian ke sini lagi kok, Bun."

"Lo kalau sama Bunda lembut banget kayak pantat bayi, tapi kalau sama gue galaknya minta ampun," keluh Gista saat melihat interaksi Bunda dan Gian.

Gian sempat melirik sahabatnya itu sekilas lalu memandangnya lamat-lamat. "Karena lo emang harus digalakin."

Actually, it's a lie. Sikap galak Gian ke Gista sebenarnya bentuk defense mechanism lelaki itu ke gadis yang dikaguminya sejak dulu. Gian sedang berusaha menjaga hatinya sendiri supaya nggak terlalu sakit meskipun jatuh berkali-kali.

***

"Lanjut tidur aja kalau mau tidur," kata Gian pelan saat melihat Levi bergerak begitu melihatnya masuk ruangan.

Ruangan istirahat ini memang milik Chandra dan Gian, tapi terkadang beberapa teman mereka izin numpang istirahat. Apalagi para dokter umum yang belum punya ruangan di rumah sakit ini, termasuk Levi.

Lelaki jangkung itu menggeleng pelan lalu memijit kepalanya yang berdenyut. Semalam memang nggak banyak pasien IGD yang datang, tapi Levi terus terjaga gara-gara peringatan Gian tentang Gista.

"Punya paracetamol nggak lo?" tanya Levi.

Gian mengedik ke arah lemari kabinet warna abu-abu. "Cari aja di sana," katanya. "Kenapa lo?"

"Pusing—kurang tidur."

"Semaleman di bangsal Lily lo?"

Gian mendengar Levi tersedak saat sedang minum obatnya. Lelaki itu diam saja sambil menunggu Levi berhenti dari batuknya—masih menunggu jawaban dari temannya itu.

"Ya nggak semaleman juga kali," jawab Levi nggak terima. "Gue juga ke bangsal lain sama IGD."

"Soalnya kata Suster Ira tumben-tumbenan lo lama di bangsal Lily," kata Gian. Memang benar, Suster Ira tanpa ditanya malah memberitahu Gian kegiatan Levi semalam di bangsal Lily.

"Emangnya ada yang salah kalau gue lama di bangsal Lily?" tanya Levi pada akhirnya.

"Nggak sih," jawab Gian cepat. Lelaki jangkung berkulit putih itu kemudian terdiam sebentar. Membeku di tempat sambil memegang scrub-nya di tangan. "Gue paham kalau lo tertarik sama Gista—dan gue nggak masalah. Gue ngasih tahu lo supaya lo nggak memperumit hubungan Gista sama Ivan."

Wishful Thinkingحيث تعيش القصص. اكتشف الآن