05 - Indifferent

184 52 35
                                    

PS: Vote and lots of comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Bak jatuh tertimpa tangga. Gista menganalogikan dirinya sendiri seperti itu. Baru saja pulang dari rumah sakit, bukannya dapat dukungan dari kekasih, tapi malah diputusin.

Eh bukan.

Malah putus lebih tepatnya—karena Gista mutusin, dan Ivan tanpa berusaha mempertahankan hubungan mereka, langsung mengiyakannya.

Itulah kenapa Gian selalu bilang ke Gista kalau jangan sedikit-sedikit minta putus kalau ada masalah. Because when a man snaps, that's it. There's no looking back.

Ivan tak pernah menghubunginya lagi. Bahkan setelah beberapa hari mereka putus. Hidup lelaki itu bahkan berjalan biasa-biasa saja. Ivan masih bisa bekerja seperti biasa, makan malam bareng koleganya, seolah perpisahan mereka berdua tak menggerogoti lelaki itu.

Berbeda dengan Ivan, Gista looks sullen almost everyday. Dan jujur aja, itu bikin Mikha nyaris melabrak Ivan karena memperlakukan kakak perempuannya secara nggak manusiawi.

Dalam kondisi belum sembuh total, tapi malah diturunin di jalan. Apa maunya coba? Kalau nggak ada Gian, Mikha bergidik sendiri membayangkan kondisi Gista di tengah jalan, dalam kondisi sakit—dan patah hati. Hal buruk bisa saja terjadi pada kakak perempuannya.

Tampilan Gista makin hari makin kayak zombie. Apalagi sekarang gadis itu sudah mulai kerja lagi setelah cuti sakit. Mikha dan Gian kadang bergantian antar jemput gadis itu karena mereka berdua sama-sama belum mengizinkan Gista naik motor atau mobil sendiri dalam kondisi yang nggak stabil kayak gini.

"Gis, udahan sih galaunya," kata Gian saat malam itu menjemput Gista dari kantor. "Kemarin lo bilang sendiri kan 'nggak penting nangisin cowok kayak Ivan'."

"Biarin aja, Yan."

"Hah?"

"Biarin aja gue lagi di fase kayak gini," kata Gista sambil menghela napas. Matanya tampak sayu. Entah karena kelelahan atau terlalu banyak menangis. Rasanya Gian ingin mendekap sahabatnya itu dalam pelukan, dan mengatakan bahwa semuanya bakal baik-baik aja. "Entar juga balik sendiri."

"Dulu sih gue nggak masalah, Gis," debat Gian. "Masalahnya lo habis sakit ini. Kata Bunda lo uring-uringan lagi makannya."

Gista merengut. Dia tahu Bunda bakal lapor Gian kalau dirinya mulai nggak teratur lagi makannya—dan berujung Gista bakal kena omel Gian.

"Your moodswings sometimes scare me," ucap Gian. "Kadang galau begini, kadang terlalu energik, kadang marah-marah nggak jelas. Untung gue selalu sabar, Gis."

Gista mendengus. "That's what friends are for."

Gianno scoffed.

***

Gian memutuskan untuk nggak mampir rumah Gista malam itu dan hanya menyapa Bunda sebentar. Besok pagi dia ada seminar di Surabaya selama tiga hari dan harus naik pesawat pagi-pagi buta.

Lelaki itu sebenarnya khawatir dengan kondisi Gista yang sepanjang perjalanan pulang terus melamun—entah memikirkan apa. Sebelum pulang, Gian tiba-tiba memeluk Gista.

"Kabarin kalau ada apa-apa ya, Gis?" kata Gian. "Gue tahu posisi gue lagi jauh, tapi tetep kabarin kalau ada apa-apa."

Gista sempat agak kaget waktu sahabatnya itu memeluknya. Namun gadis itu tetap membalas pelukan Gian. Menepuk punggung lelaki itu agar nggak terlalu khawatir.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now