22 - Way to Move On

193 47 26
                                    

PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

"Jadi gue udah ditolak sebelum perang nih?"

Gista menghentikan kegiatannya merapikan koper lalu tertawa menatap Chandra. Terdengar suara ramai suara manusia, peluit, hingga suara bogie beradu dengan rel di belakang mereka. Chandra baru saja menyelesaikan shift-nya dan langsung pergi mengantar Gista tanpa pulang lebih dahulu. Sementara itu mata Mikha memerah. Lelaki itu sudah tak bisa menahan tangis sejak mereka bertiga tiba di stasiun.

Keputusan sang kakak ini begitu mendadak dan mengagetkannya.

"Ditolak apanya?" tanya Gista mengejek. "Orang lo belum tanya apa-apa. Lo cuma bilang 'jalanin aja dulu' gitu kan? Ya udah ini gue jalanin."

Chandra cemberut. "Jalanin apanya, lo malah milih buat pergi."

"Gue mau jalanin, tapi enggak mau di Jakarta buat sementara waktu," balas Gista lembut. "These past months have been really overwhelming for me. Dan rasanya gue mau muntah tiap bangun pagi dan sadar kalau masih di Jakarta. Gue pengen berada di tempat yang ngasih gue waktu buat bernapas."

"Jadi?"

"Jadi apa prok prok prok."

"Gue serius, Gista."

Gista nyengir. "Sama seperti yang lo bilang dulu, gue juga nggak tahu ke depannya," balasnya. "Gue nggak bisa menjanjikan apapun ke lo, Chan—karena gue juga nggak mau bikin lo sakit hati. Perasaan gue ke Gian masih ada—masih sama kayak dulu dan belum ada yang berubah. Tapi gue nggak tahu ke depannya apakah bisa lepas dari perasaan ini dan membuka hati buat cowok lain."

Chandra sudah menduga hal ini dan dia sama sekali enggak kaget. Nggak ada yang perlu disangkalnya, karena memang begitu adanya perasaan Gista pada Gian. "Tahu lagunya Dewa yang Risalah Hati?"

Gista mengangguk.

"Dengerin itu selama lo di kereta nanti."

Gista menaikkan alis kirinya.

"Kasih gue waktu," kata Chandra lagi. "And I can make you fall in love with me."

Gista tertawa keras. "Jangan nungguin gue, Chandra. Tapi okelah, gue nggak akan menutup kemungkinan jatuh cinta sama lo suatu saat nanti."

Chandra terdiam cukup lama, begitu pula dengan Mikha. Gista mengisi keheningan yang canggung ini dengan mengecek kembali barang bawaannya. Sebagian besar barangnya sudah dikirim ke kota tujuan menggunakan jasa ekspedisi. Sementara yang ia bawa malam ini hanya sekoper kecil baju tersisa dan beberapa perlengkapan pribadinya.

Gista sebenarnya sudah mengabarkan kepindahannya sejak berhari-hari yang lalu. Namun entah kenapa, Chandra masih sulit menerimanya. Sebagian besar hatinya menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa menahan Gista untuk tetap di sini—menjadi alasan gadis itu tetap tinggal di dekatnya. Di sisi lain, Chandra berusaha memahami keputusan Gista.

Gadis itu pastilah sudah memikirkan semuanya matang-matang. Beberapa minggu belakangan ini, Gista memang sedang terpuruk karena masalah dengan Gian, dan segalanya berubah sejak itu. Gista seperti kehilangan cahayanya. Memutuskan keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, hingga yang paling membuat orang terdekatnya kaget, memilih tinggal di luar kota mulai hari ini.

Lamunan Chandra dipecahkan oleh suara isak tangis Mikha yang kini tengah berpelukan erat dengan sang kakak. Maklum, sedari kecil mereka tak terpisahkan. Gista nggak pernah merantau ke luar kota, begitu pula Mikha. Keseharian mereka hanya dihabiskan di sekitar Jakarta saja. Kalaupun ke luar kota, mereka nggak pernah pergi lebih dari satu minggu.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now