14 - People Come and Go

218 52 39
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated :)

This is long-ass one (3300 words) so bear with it.

Happy reading!

***

"Barang lo udah semua? Nggak ada yang ketinggalan kan?"

Gista diam saja.

"Gis?"

Gadis itu masih diam saja ketika Gian di sebelahnya sibuk menyetir sambil mengoceh dalam perjalanan mereka menuju Bandara Ngurah Rai pagi itu. Gian lalu menengok. Dia mendapati Gista sudah menyenderkan kepalanya ke kaca dan entah sedang melamunkan apa.

Gian melepas tangan kirinya dari kemudi lalu menyentuh sisi wajah Gista. "You look pale," katanya. "Are you okay?"

Gista tersenyum lemah lalu melepas tangan Gian dari sisi wajahnya. Dia emang nggak sempat memoles wajahnya sebelum berangkat ke bandara pagi ini. Selain karena bangun kesiangan, pikiran Gista juga dipenuhi hal lain.

"Lo sakit ya?" tanya Gian dengan nada penuh kekhawatiran yang menyertai suaranya.

Tanpa sadar, Gista mendengus pelan. Entah kenapa, dia malah udah terlanjur berburuk sangka sama lelaki di sebelahnya ini. Dia menganggap, Gian pandai berakting. Saat bersama Gista, lelaki itu terlihat peduli dan perhatian, tapi di ponselnya, ternyata masih berhubungan sama mantannya.

"Gis? Sakit?"

"Enggak."

"Terus kenapa diem aja?"

"Loh emangnya nggak boleh?"

Gian agak terkesiap saat mendengar jawaban Gista yang menurutnya agak ketus itu. Namun dia memilih untuk nggak bertanya lagi dan membiarkan Gista larut dalam diamnya. Mungkin gadis itu kelelahan. Bagaimanapun juga, selama mereka empat hari di Bali penuh dengan berbagai macam kegiatan.

Namun Gista masih terlihat ketus dan kaku ketika mereka berdua berada di bandara. Dia bahkan membiarkan Gian mencari sarapan sendirian karena mengaku lelah. Padahal sebenarnya, dia nggak mau lihat wajah lelaki itu.

Gista ingin sekali menanyakan soal Almira pada Gian, namun bukan hari ini. Hari ini perasaannya sudah terlanjur berantakan, dan dia nggak mau makin berantakan. Sekarang dia masih pengen ngambek sama Gian biar lelaki itu tahu kalau berhubungan sama mantan itu hal yang tabu buat Gista. Apalagi mantannya sejenis Almira.

Gadis yang pernah menyakitinya saat masih remaja dulu. Meninggalkan luka yang bahkan belum kering sampai bertahun-tahun lamanya.

Gadis yang selalu membuatnya merasa selalu kurang, rendah diri, dan nggak pantas buat siapapun. Dia dan Gian adalah dua orang pertama yang menggores luka begitu dalam pada hati Gista.

Namun bagaimanapun, dia nggak bisa menjauh dari Gian. Lelaki itu pernah menggores luka, tapi Gian lebih banyak memberikannya kebahagiaan yang mungkin orang lain nggak bisa beri.

Meskipun tahu Gista sedang nggak enak hati—dan nggak tahu karena apa—Gian mencoba memberinya ruang. Dia penasaran setengah mati karena entah kenapa perasaannya menyebut ini bukan perkara kecapekan aja. Gian udah kenal Gista belasan tahun, dan dia tahu perangai gadis itu ketika ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Gian juga nggak tahu pasti apakah sikap aneh Gista ini karena perilakunya? Tapi dia merasa bahwa dirinya nggak berbuat salah pada gadis itu.

Beberapa menit kemudian, panggilan boarding untuk pesawat ke Jakarta diumumkan. Mereka berdua masuk ke dalam pesawat—masih dalam diam. Bahkan ketika Gian menawarkan kursinya yang berada di dekat jendela pada sang gadis, namun Gista menggeleng. Dia lebih memilih duduk di aisle seat dan tak berucap satu patah katapun pada Gian.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now