12 - Strawberry Lip Balm

314 51 54
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated!

Happy reading!

***

Setelah kejadian di air terjun tadi, Gian dan Gista merasakan ada kenyamanan yang perlahan menguar dari dalam diri mereka. Kenyamanan yang belum pernah mereka rasakan selama berteman.

Gista bahkan nggak sempat berpamitan pada Zach saat dirinya dan Gian beranjak pergi dari tempat itu. Dia tak banyak membantah Gian, menuruti hampir semua mau lelaki itu.

"Yan, pengen makan babi guling," kata Gista dengan nada—yang tanpa ia sadari—lebih tinggi daripada biasanya. Nada yang biasanya ia gunakan ketika bersama mantan kekasihnya.

"Yang deket hotel aja ya?" tawar Gian. "Kayaknya ada yang rame dan enak."

Gista mengangguk, lalu tiba-tiba menyentuh tangan Gian yang sedang memegang tuas transmisi. "Thank you."

"For what?"

"For always keep me safe," jawab Gista. "Gue baru sadar kalau selama ini lo adalah salah satu cowok yang paling peduli sama gue—and I can always come back to you. Gue terdengar kayak cewek brengsek, tapi kenyataannya begitu."

Kini giliran Gian yang dibuat nggak bisa berkata-kata. Dia merasakan jantungnya berdetak makin cepat.

Is this a good sign?

***

"Kayaknya Mikha bener," kata Gista tiba-tiba ketika mereka berdua sedang berjalan di tepi pantai menikmati sunset sepulang makan babi guling. "Gue harus tahu apa yang gue mau dulu sebelum gue buru-buru punya hubungan sama cowok."

"Mikha bilang begitu?"

Gista mengangguk. "Kayaknya dia lama-lama terganggu lihat gue gonta-ganti cowok tiap dua bulan. Awalnya sih bodo amat, tapi kayaknya dia nggak mau gue diomongin jelek aja."

Gian terkekeh. "Adik lo tuh baik tahu," ucapnya. "Terus sekarang nggak mau punya pacar dulu?"

"Nggak tahu." Gista mengedikkan bahu. "Kalau soal itu gue nggak tahu, tapi yang jelas gue nggak mau buru-buru dulu."

Langit Bali sore itu perlahan berubah oranye. Gian dan Gista berhenti di tepi pantai yang kebetulan tak banyak orang di situ. Hanya sayup-sayup terdengar suara tawa dan gonggongan anjing dari kejauhan. Hembusan angin makin lama makin kencang seiring langit yang terus berubah warna, menerbangkan anak rambut mereka hingga menyatu dengan sisi wajah yang basah karena keringat.

Gista mengeluarkan ikat rambutnya lalu mengikat surainya asal. Tanpa diminta, dia membantu Gian menyingkirkan anak rambut yang mengganggu mata lelaki itu. Gian tersenyum lalu menarik gadis itu mendekat—melingkarkan tangannya pada pinggang Gista sembari gadis itu merebahkan kepalanya ke bahu Gian.

Mereka menikmati lagi kenyamanan ini tanpa menyuarakan apapun. Apa yang mereka lakukan saat ini sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan isi hati masing-masing tanpa banyak berkata-kata.

Gista menghirup banyak-banyak aroma tubuh Gian yang sudah tercampur aroma laut—namun tak menghilangkan desir di hatinya saat merasakan feromone Gian perlahan mulai membuatnya nyaris gila. "Thank you, Pak Dokter."

"Lo terlalu banyak bilang terima kasih hari ini."

"Because I can't thank you enough. You're literally doing anything for me, termasuk rela buat cuti—karena lo workaholic—buat nemenin gue ke Bali biar tiketnya nggak sia-sia." Gista tertawa tepat di telinga Gian. Suara tawa gadis itu terdengar begitu merdu di telinganya. Gian lalu mencium puncak kepala Gista.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now