16 - To Forgive, Not to Forget

171 49 46
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading! 

***

"Kak?" Mikha menengok ke kamar kakak perempuannya dengan hati-hati, sesaat setelah Gian pergi tanpa pamit dan menutup pintu keras-keras. Dia nggak mencegah Gian pergi, atau menanyainya apa yang terjadi. Mikha membiarkan sahabat kakaknya berlalu begitu saja, meskipun dia mendengar semua ucapan Gian pada Gista.

Dan itu membuatnya sakit hati.

Mikha tahu Gian muak karena sikap Gista yang seolah lari dari masalah, tapi dia nggak menyangka seorang Gianno Mahendra Prastowo bisa berkata demikian pada sosok wanita yang konon katanya ia cintai. Dia mendekat begitu Gista meliriknya dengan tatapan pasrah. Jejak-jejak air mata sang kakak masih begitu terlihat. Mengering seiring dengan hujan yang mulai turun membasahi bumi.

"Are you okay?"

Gista menggeleng, namun tak mampu mengeluarkan kata-kata apapun. Gadis itu merapikan kembali pensil dan sketchbook-nya yang masih berserakan di meja, lalu merebahkan diri di tempat tidur. "Gue capek," katanya lemah. "Gue mau tidur."

Mikha mengangguk.

"Siapa tahu ini cuma mimpi," katanya lagi. "Siapa tahu nanti gue bangun dan ternyata belum terjadi apa-apa."

"Kak ..."

"Gue baru sadar kalau gue sejahat itu, Mik," ucap Gista. Air mata kembali turun membasahi pipinya. "Gian udah baik banget mau nemenin gue selama bertahun-tahun. Tapi gue—"

"Kak, udahlah."

Gista menatap adik satu-satunya itu dengan pandangan putus asa. Pikiran dan hatinya terlalu kacau sampai dia nggak bisa apa-apa lagi. Raganya terlalu lelah, batinnya apalagi. Kalimat terakhir Gian tadi begitu membekas di hatinya.

"Gue harus apa, Mik?"

***

Sudah lewat beberapa hari sejak kontak terakhirnya dengan Gista, tapi kekalutan Gian justu makin menjadi-jadi. Dia seperti hilang arah, bahkan jatuh sakit di hari ketiga setelah mengucapkan salam perpisahan pada Gista.

Tangan kanan lelaki itu kini tengah memegang ponsel yang layarnya mati sedari tadi. Matanya menatap kosong, terkadang tampak nanar yang tak bisa dijabarkan. Gian menghela napas lagi lalu menghidupkan layar. Kontak Gista ada di sana, dan dia masih nggak punya keberanian untuk menekan tombol 'blokir'. Hatinya seolah nggak rela, karena begitu dia memblokir kontak Gista, maka semuanya resmi berakhir. Dia nggak mau berurusan lagi dengan gadis itu.

Namun di sisi lain, hati kecilnya berteriak. Berharap agar Gista datang lagi kepadanya—Gian nggak akan langsung menerimanya. Amarahnya juga turut berteriak, meminta pembalasan dendam. Setengah berharap Gista juga merasakan sakit yang ia rasakan.

Nggak ada pengkhianatan yang lebih sakit selain dari orang terdekat kita sendiri.

Gian menatap layar ponselnya lagi. Cih, bahkan Gista nggak mau repot-repot menghubunginya duluan. Pun, nggak ada kata maaf terucap dari gadis itu.

Dia membiarkan layar ponselnya mati lagi, lalu memasukkan benda itu ke saku scrub-nya. Waktu istirahat selama dua jam ini harusnya dia manfaatkan buat istirahat. Bukannya mikirin Gista, yang dia anggap sudah bukan siapa-siapa lagi.

Kemudian terdengar suara pintu terbuka, dan Chandra masuk ke ruangan diikuti Anna yang cemberut. Scrub kedua dokter itu tampak basah karena keringat. Maklum, sepanjang pagi hingga siang ini, IGD penuh dengan pasien korban kebakaran gedung yang terjadi di dekat rumah sakit mereka. Gian bahkan ikut membantu melakukan CPR pada tiga pasien yang terindikasi mengalami henti jantung.

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now