04 - Savior Number One

238 49 50
                                    


PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Setelah beberapa hari harus menginap di rumah sakit, hari ini Gista akhirnya diperbolehkan pulang. Gadis itu masih terlihat pucat—dan sebenarnya masih bikin Gian khawatir—tapi Chandra meyakinkan kalau Gista sudah cukup aman kalau dibawa ke rumah meskipun harus banyak istirahat. Apalagi gadis itu kayaknya udah nggak betah berlama-lama di rumah sakit.

Kenangan buruk tentang tempat itu bikin Gista pengen cepat-cepat pulang.

Di tengah-tengah prakteknya siang itu, Gian menyempatkan diri mengunjungi Gista yang tengah beberes. Nggak tahu kenapa Gian merasa harus melihat sahabatnya itu sebelum dia pergi dari rumah sakit.

"Loh katanya praktek?" tanya Gista sambil menaikkan satu alisnya.

"Udah nggak ada pasien lagi," jawab Gian. Berbohong tentu saja. Mana mungkin dokter setenar Gian sampai nggak punya pasien.

Pada beberapa pasiennya tadi, Gian juga sempat berbohong. Dia bilang ada panggilan darurat dari Dokter Arnas dan bakal kembali paling cepat setengah jam lagi.

"Pulang sama siapa?" tanya Gian. "Mikha katanya lagi di Bandung?"

"Coba tebak?"

Perasaan Gian nggak enak, tapi lelaki itu tetap mencoba untuk menebak. "Levi?"

Gista cemberut. "Gue belum sedeket itu sama dia buat minta anterin pulang," katanya. "Meskipun kita udah tukeran nomor WhatsApp sih."

Jantung Gian rasanya merosot sampai ke perut saat mendengar hal itu. Tapi dia mencoba untuk mengontrol wajahnya agar tetap poker face. "Terus dianterin siapa?" tanyanya sambil berdeham. "Kalau nggak ada, biar gue—"

"Nggak usah, Yan. Gue sama Bunda dianterin Chandra kok," putus Gista cepat sambil nyengir. "Tumbenan Pak Dokter satu itu baik sama gue."

"Chandra?" tanya Gian tak mempercayai telinganya. Chandra memang sudah kenal dengan Gista sejak lama. Tepatnya sejak mereka masih SMA. Tapi kedua orang itu nggak pernah terlibat interaksi lebih dari sekadar ngobrol dan saling ejek. Paling mentok juga seperti sekarang ini, interaksi dokter dan pasiennya.

"Iya, dia sekalian pulang katanya."

"Emang Chandra tahu rumah lo?"

Gista berhenti dari kegiatannya dan melirik Gian dengan pandangan bingung. "Ya kan kalau dia nggak tahu ada gue sama Bunda yang ngarahin!"

Setelah itu, pintu kamar Gista terbuka lebar dan menampakkan sosok Chandra yang sudah berganti pakaian. Sebuah tas selempang kecil berwarna hitam tersampir di bahunya.

"Bunda mana?" tanyanya.

"Bunda?!" Gian lagi-lagi nggak memercayai telinganya. Sejak kapan Chandra memanggil ibu Gista dengan panggilan 'Bunda'? Bahkan Ivan yang statusnya sudah jadi pacar Gista aja memanggil dengan sebutan 'Tante'. Satu-satunya orang di luar keluarga yang manggil 'Bunda' kan cuma Gian.

"Iya, Bunda," jawab Chandra. "Lo kayak nggak terima gitu gue manggil Bunda?"

Gista menggeleng tak memedulikan Gian. "Lagi urus administrasi."

Chandra mengangguk mengerti lalu mengalihkan pandangannya pada Gian yang masih mengamatinya. "Omong-omong, lo ngapain di sini deh? Bukannya ini jam lo praktek?"

Gian tergagap. "U-udah nggak ada pasien."

Mata Chandra memicing. "Sejak kapan drg Gianno Mahendra Prastowo nggak ada pasien?" ucapnya sangsi. "Tahu nggak, menurut gue lo tuh malah dokter gigi terpopuler sejagad raya. Kadang pasien lo tuh ngalah-ngalahin dokter umum."

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now