09 - We Tend to Overcomplicate Things

186 51 55
                                    

PS: Vote and comments are highly appreciated :)

Happy reading!

***

Hal yang biasa dilakukan Gian ketika Gista tengah dekat dengan lelaki lain adalah menjauh. Lelaki itu bakal jaga jarak aman dengan sang sahabat. Yang pertama, karena Gian udah males disinisin sama calon pacar atau pacar Gista, dan yang kedua jelas—dia menjaga hatinya. Gian lebih baik nggak tahu apa-apa daripada tahu semuanya lalu memendam sakit hati sendirian.

Gian tahu diri, kehadirannya bisa menjadi pengganggu di antara hubungan Gista dan Levi. Maka seperti yang sebelumnya ia lakukan, Gian akan mundur sedikit dan hanya bisa jadi pengamat hubungan sahabatnya.

It sucks—tapi Gian nggak pernah bisa mengutarakan secara gamblang perasaannya pada Gista. Pikiran dan hatinya nggak pernah sejalan. Gian ingin Gista menyadari perasaan lelaki itu padanya, tapi nggak pernah mau secara terang-terangan mengungkapkan perasaan. Gian nggak suka Gista dekat dengan lelaki lain, tapi diam saja saat Gista punya hubungan dengan pria lain yang menjurus ke arah asmara.

Selalu seperti ini selama bertahun-tahun.

Seperti pagi ini, mood Gian udah hancur berantakan gara-gara nggak sengaja dengar percakapan Levi yang ternyata kini sering antar jemput Gista.

Sejak saat itu, dia mulai agak mengabaikan Gista. Menjawab pesan gadis itu dengan singkat, dengan sengaja mengabaikan panggilan telepon, sampai nggak membalas pesan Gista saat mengomentari story di Instagramnya.

"Yan ..."

"..."

"Gian ..."

"..."

"Gianno ..."

"..."

"GIANNO MAHENDRA PRASTOWO!"

Bukan hanya Gian, tapi seluruh IGD melonjak kaget mendengar teriakan Chandra. Untung dokter satu itu anak dari pemilik rumah sakit ini. Kalau nggak dia pasti udah dapat umpatan dan pelototan dari tenaga kesehatan lainnya.

"Nggak usah teriak-teriak bisa nggak sih?!"

"Ya lo budeg!" keluh Chandra. "Serius deh, Yan. Akhir-akhir ini lo budeg banget, bikin gue khawatir."

Gian mendengus. "Ada apa?"

"Bokapnya mantan lo tuh—siapa? Almira? Yang dulu primadona kampus?"

"Iya, kenapa?"

"Hari ini opname," kata Chandra serius. "Pingsan habis kecapekan main tenis."

Gian menaikkan salah satu alisnya. "Ya terus?"

"Nggak pengen nengok?"

Gian diam saja. Kalau mau jawaban jujur sih, enggak. Lagipula dia dan Almira udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Dibilang teman pun enggak. Sejak gadis itu mengirimkan makan siang untuk Gian beberapa hari yang lalu, dia nggak pernah lagi menghubungi Gian. Gian pun cenderung mengabaikan gadis itu.

"Yan?—tuh kan budeg lagi!"

Gian tersadar dari lamunannya. "Ya entar kalau sempet gue nengok," jawabnya. "Kok lo bisa tahu kalau bokapnya Almira masuk rumah sakit?"

"Tadi waktu masuk IGD kebetulan gue lagi jaga," balas Chandra. "Sekarang sih udah siuman, udah agak mendingan juga, tapi mau ketemu kardiolog soalnya ada dugaan aritmia."

"Oh ..."

"Oh doang?"

"Terus gue harus panik, galau, dan heboh gitu?"

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now