07 - I'll Always Win

225 57 82
                                    

PS: Vote and comments are highly appreciated. Really, karena aku sudah mulai mempertanyakan kenapa vote dan komentarnya rada jomplang dibanding dengan jumlah pembacanya hehehehe

Happy reading!

***

Perasaan Gian saat ini nggak bisa digambarkan. Melihat Gista mau bersusah payah menerobos hujan sampai rela izin demi menemuinya membuat Gian terbang ke langit ketujuh. Meskipun begitu, dia juga memandang prihatin Gista yang kini tengah menggigil kedinginan. Sahabatnya itu memang nggak bisa kena air hujan sedikit saja.

"Kenapa nekat nerobos hujan sih?" tanya Gian sambil membantu untuk mengeringkan rambut Gista dengan handuk kecil yang selalu tersedia di ruangannya. "I can come to you."

"Halah pret," Gista mencibir. "Di-chat nggak bales, ditelepon nggak diangkat sok-sokan 'I can come to you'. Kalau gue nggak datengin lo, mana mau lo turunin gengsi buat nggak marah lagi sama gue."

Gian meringis minta maaf.

"Such an Arian thing to do," kata Gista lagi. "Lo udah makan siang belum? Gue bawa sushi ini."

Gian tersenyum tulus sambil menggeleng. Nggak tahu kenapa, dia jadi tiba-tiba merasa bersalah pada gadis di hadapannya ini. Dalam persahabatan mereka selama belasan tahun, Gista selalu memperlakukan Gian dengan baik. Kecuali fakta bahwa gadis itu tidak menyadari perasaan Gian yang sesungguhnya.

"Sorry ya, Gis."

Gista berhenti dari kegiatannya menata sushi lalu tersenyum pada Gian. "It's ok. Kalau dipikir-pikir, gue yang bandel juga kok."

"Hmm?" Gian nggak mengerti.

"Gue tahu lo marah karena gue nekat main ke coffee shop padahal punya GERD," kata Gista. "But I swear to you, gue nggak minum kopi. Gue minum cokelat panas."

"O—oh," Gian nggak tahu harus sedih atau bersyukur. "Yeah, right. Lo tuh udah gue anggep ..." Gian diam lama sampai Gista memperhatikannya. "... adik gue sendiri. That's why I always care for you."

Gista tersenyum. Dari dulu Gian memang selalu bilang kalau Gista sudah seperti adiknya sendiri. Jadi Gista pun menganggap Gian seperti kakaknya sendiri.

"Lo sama Levi ..." suara Gian terdengar menggantung. Lelaki itu seperti enggan bertanya, tapi juga penasaran dengan hubungan Gista dan Levi. Bagaimana prospek hubungan mereka? Sudah sejauh apa? Apakah Gista sudah mulai menyukai Levi?

"Gue sama Levi kenapa?" tanya Gista sambil mengunyah sushi-nya.

"Kalian ..." suara Gian menggantung lagi. "... ada apa?"

Gista tiba-tiba tersenyum cerah. "Nggak ada apa-apa sih ... so far."

Hati Gian mencelos.

"But I don't know if this might lead to—you know—anything."

"Lo belum ada sebulan putus sama Ivan, Gis," timpal Gian. "Nggak lihat lo kemarin muka Ivan sepet begitu?"

Gista tersedak. "Ya emang kenapa kalau belum sebulan?" tanya Gista menantang. "Apakah gue harus nunggu minimal tiga bulan dulu baru bisa deket sama cowok lain gitu? Come on, Yan. Dari dulu gue nggak pernah peduli apa kata orang lain. If they want to think that I'm cewek gampangan, let them be."

"Gue yang nggak terima," tukas Gian. "Gue enggak suka temen gue diomongin yang enggak-enggak sama orang."

Gista tersenyum lembut lalu menyuapkan satu potongan sushi ke mulut Gian. "I know, you do care to me ... a lot. But my dear Gian, some things are better to be ignored."

Wishful ThinkingWhere stories live. Discover now