Un

94 11 14
                                    

Korean Wave yang semakin mendunia membuat sebagian orang ingin merasakan bagaimana tinggal di korea. Dekat dengan idola mereka, makan makanan yang selalu mereka lihat di dalam drama, bahkan berharap bisa berpasangan dengan orang korea yang terlihat romantis. Nyatanya tidak semua yang terlihat itu nyata. Itu hanyalah karya produser-produser hebat untuk memberikan hiburan yang berkualitas. Banyak hal yang tidak terlihat oleh orang luar.

Angka bunuh diri yang semakin meningkat setiap tahun menunjukkan bagaimana kerasnya hidup di negara tesebut. Salah satu penyebab terbesar meningkatnya angka bunuh diri adalah depresi. Dan disinilah Kim Mi Sun saat ini, menikmati makan malam di ketinggian lebih dari sepuluh kilometer di atas permukaan laut. Suapan terakhir daging panggang masuk ke dalam mulut Mi Sun.

"Permisi," Mi Sun mengangkat tangan memanggil pramugari di dekatnya.

"Ne, ada lagi yang anda perlukan?" tawar sang pramugari sopan.

"Bolehkah aku minta makanan lagi?"

"Tidak banyak yang tersisa, hanya tersisa Bibimbap dan Chicken Cordon Blue. Anda mau memilih yang mana nona?"

"Bolehkah aku meminta keduanya?"

Permintaan Mi Sun membuat si Pramugari sedikit terkejut. Dengan cepat ia mengubah raut wajahnya, tersenyum profesional.

"Tentu saja nona, dan bisakah saya mengambil ini," tunjuk pramugari pada bekas tempat makan kosong Mi Sun.

"Silahkan," Mi Sun mempersilahkan.

Pramugari mengambil tempat makan yang kosong di depan Mi Sun dan menggantinya dengan dua paket makanan yang baru.

"Terima kasih," ucap Mi Sun sopan.

"Tidak perlu sungkan, selamat menikmati."

Mi Sun segera membuka makanannya begitu pramugari pergi. Dengan lahap ia memakan makanan keduanya malam ini. Tidak peduli dengan tatapan heran orang disebelahnya, ia tetap mengisi perut yang kosong sejak pagi. Satu porsi makanan pesawat tidak cukup mengenyangkan.

"Kau lihat penumpang itu?" bisik pramugari yang baru saja kembali ke galley tempat mereka menyiapkan makanan untuk penumpang pada rekan kerjanya.

Mengintip melalui gorden pembatas, sang rekan melihat siapa yang rekannya maksud, "Ada apa dengannya."

"Dia memakan tiga porsi sekaligus," ucapnya membuat sang rekan membuka mulut.

***

Kim Mi Sun, duduk sendiri di ruang pantry, menikmati makan siang yang ia beli di minimarket pagi tadi. Satu gulung tuna mayo kimbab, sosis , dan sebotol susu pisang menjadi pilihannya untuk siang yang sudah sangat terlambat ini. Sebuah artikel tentang tempat wisata di Paris menemani Mi Sun menghabiskan potong demi potong kimbabnya. Sesekali ia menambahkan catatan pada note di ponsel, 'Paris Wishlist' tertera sebagai judul catatan.

"Eonnie, kau sudah menghabiskan makan siangmu?" seorang rekan kerjanya masuk dan menempatkan diri di samping Mi Sun.

"Tinggal sedikit lagi," tunjuk Mi Sun pada sepotong kimbab dan setengah sosis di meja.

"Aku lelah," keluh Ga Eun "pelanggan itu cerewet sekali. Sudah kujelaskan berkali-kali warna itu tidak cocok dengan kulitnya, dan kau tahu apa yang ia katakan saat aku selesai?"

Mi Sun mengangkat bahu.

"Ternyata kau tidak semahir yang kupikir nona," ucap Ga Eun menirukan nada suara pelanggan yang baru saja ia tangani.

"Kau harus tahan, jika tidak orang seperti kita tidak akan bisa bertahan," ucap Mi Sun sarkas.

"Ini hari terakhir eonnie bukan? Apa tidak makan malam perpisahan?" Ga Eun mencomot potongan terakhir kimbab Mi Sun.

Mi Sun memukul pelan tangan Ga Eun yang akan mengambil sisa sosis miliknya. Ia buru-buru menghabiskan sisa sosis di meja. Ia tidak terima makanannya diambil, bukannya pelit hanya saja ia tidak ingin kelaparan malam nanti. Mi Sun berusaha sebisa mungkin berhemat bahkan rela hanya membeli makanan murah yang berada di minimarket. Tidak jarang jika ia masih merasa kenyang, ia akan melewatkan makan malam, hitung-hitung bisa berdiet juga.

"Jangan terlalu pelit," cibir Ga Eun.

"Kau memakan makan malamku, mana mungkin aku tidak pelit," balas Mi Sun.

"Mi Sun Eonnie, aku tahu kita tidak bisa hidup bermewah-mewah pelanggan kita, tetapi eonnie tidak perlu hidup sangat berhemat seperti ini. Kukira gaji kita tidak terlalu kecil, sampai eonnie hanya makan makanan instan."

Perkataan Ga Eun tidak ada yang salah, meskipun biaya hidup mahal gaji Mi Sun sebagai make up artist di salah satu salon kecantikan di daerah Banpo-dong masih bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meski secara sederhana. Biaya sewa rumah yang tinggi belum lagi beberapa tagihan yang harus dibayar membuat Mi Sun tidak punya cukup uang untuk ia sisihkan kecuali ia harus ekstra berhemat.

Beberapa tahun belakangan, Mi Sun merasa hidupnya sudah diambang batas kewarasan. Setiap hari menghadapi pelanggan kalangan atas yang selalu menganggap orang-orang seperti Mi Sun hanyalah seseorang yang dibayar mahal bukanlah manusia yang mempunyai perasaan. Tidak sedikit keluhan demi keluhan remeh yang mereka layangkan pada mereka, bahkan terkadang kesalahan pelanggan pun harus mereka anggap sebagai kesalahan mereka.

Salah satu usaha Mi Sun agar dirinya tetap waras adalah ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, pergi sejauh mungkin dari lingkungannya saat ini dan memulai semua dari awal. Dan semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah hampir dua tahun ia berusaha bertahan, akhirnya hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Mi Sun merasa uang yang ia kumpulkan sudah cukup untuk membuatnya terbebas dari penjara ini.

"Ara... Ara... Ayo kita makan samgyeopsal pulang kerja nanti!" ucap Mi Sun.

"Call, awas saja jika eonnie kabur, akan kukejar kau kemana pun," ancam Ga Eun.

"Kajja, sebelum dia melapor pada Bos karena kita telalu bermalas-malasan," ajak Mi Sun kembali ke ruang depan, tempat para pegawai menunggu pelanggan.

Bu Lee, manager Areum Studio memicingkan bola matanya melihat kedua karyawan yang berjalan melewati meja kerjanya tanpa rasa bersalah. Ga Eun menyenggol lengan Mi Sun pelan, memberi kode untuk berjalan lebih cepat agar tidak ada kesempatan Bu Lee mengomel.

"Bo Yeon-ah, ada tamukah?" tanya Mi Sun pada Bo Yeon, si resepsionis yang bertugas menerima tamu yang datang.

"Eobsseoyo."

"Lantas kenapa Bu Lee seperti ingin memakan kita?" Ga Eun menambahkan.

"Eonnie, kau bukan anak baru," olok Bo Yeon.

***

"Nona, silahkan gunakan sabuk pengaman anda, pesawat akan segera mendarat," seorang pramugari membangunkan Mi Sun yang tertidur.

Mi Sun segera memasang sabuk pengaman sesuai instruksi yang diberikan. Mi Sun melihat ke jendela, kota Paris mulai terlihat. Cantik, itu yang terbesit pertama kali dalam otak Mi Sun saat melihat kota impiannya. Kota di mana akan ia habiskan dalam beberapa hari atau bisa jadi beberapa minggu ke depan. Kota yang ia harapkan bisa menggembalikan kewarasan miliknya.

"Paris j'arrive."

On Shoestring (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang