Dix-sept

16 2 0
                                    

"Tidak kusangka dia bisa menebak dengan benar padahal belum lama dia bertemu Mère," gumam Maximillian saat memasuki kamar.

Maximillian takjub dengan kehebatan Mi Sun atau bisa dikatakan keberuntungan Mi Sun. Maximillian spontan menantang wanita itu hanya karena ingin mengerjainya. Namun tidak terduga jawaban Mi Sun bahkan sangat tepat.

Maximillian membuka ponsel, mencari satu foto di dalam galeri. Foto sebuah kertas berisi tulisan berupa nama-nama tempat wisata terkenal di Paris. Beberapa nama sudah tercoret, yang lain masih terbaca dengan jelas. Maximillian mencari di daftar terbawah, membaca beberapa tempat yang ditulis Mi Sun. Ia membaca dengan cepat tempat yang ingin Mi Sun kunjungi saat di Swiss. Maximillian tergesa membuka pintu kamarnya. Ia bergegas kembali keluar rumah. Tiba-tiba ia mendapat ide tentang apa yang akan ia lakukan besok.

"Kau mau kemana Max?" tanya Anne ketika melihat Maximillian keluar.

"Keluar sebentar. Ada yang harus kubeli."

"Hati-hati."

Maximillian memacu mobilnya di jalanan, mencari toko sepatu yang masih buka. Sebagian besar toko sudah tutup, tidak banyak toko di Bern yang buka hingga larut malam. Butuh beberapa menit hingga akhirnya Maximillian menemukan toko yang masih buka. Ada beberapa pelanggan yang masih memilih di dalam toko, mungkin itu alasan toko ini masih buka. Ia segera memasuki toko mengisyaratkan pada pelayan toko ia hanya sebentar.

Bekerja di bidang fashion cukup lama membuat Maximillian setidaknya bisa menebak ukuran pakaian bahkan ukuran sepatu seseorang. Meski terkadang tidak sepenuhnya tepat, setidaknya tebakannya tidak terlalu jauh. Maximillian memilih sepatu kets yang ringan untuk Mi Sun. Ia berencana mengajak Mi Sun berkeliling, mendaki kecil di sekitar Danau Silsersee.

Selesai melakukan pembayaran, Maximillian kembali pulang. Ia hanya butuh membeli sepatu karena ia yakin Mi Sun akan memakai alas kaki yang tidak cocok untuk mendaki.

"Kenapa belum tidur Mère?" tanya Maximillian ketika melihat ibunya masih di tempat yang sama seperti saat ia pergi.

"Kau membeli apa malam-malam begini?" Anne balik bertanya.

"Sepatu untuk Mi Sun. Aku berencana mengajaknya mendaki besok."

"Ide bagus. Pasti dia senang."

"Sebenarnya dia belum tahu. Bisakah Mère merahasiakan ini dari Mi Sun?"

"Tentu," ucap Anne antusias.

***
Langit malam beserta bintang-bintang menjadi saksi bisu pergumulan sepasang insan manusia. Dekapan erat Maximillian mengiringi lumatan panas keduanya. Napas tersengal, degup jantung berdetak keras seolah mereka bukanlah orang asing yang belum lama bertemu.

Maximillian melepaskan tautan bibir mereka, memberi kesempatan Mi Sun untuk bernapas. Dada Mi Sun naik turun cepat, menatap terkejut pada Maximillian. Mi Sun tersadar apa yang telah ia perbuat. Ia berdiri, membenarkan baju tidur yang tidak pada tempatnya. Wajah Mi Sun memerah, entah karena malu atau alkohol mulai bereaksi di dalam tubuhnya.

"Aku harus pergi," ucap Mi Sun canggung, "Aku sangat lelah, aku harus tidur," tambahnya.

Tanpa mendengarkan jawaban Maximillian, Mi Sun masuk, meninggalkan Maximillian seorang diri di balkon. Mi Sun menarik selimut, menyembunyikan dirinya dibalik selimut. Maximillian duduk, mengingat kejadian yang baru saja terjadi. 

"Alkohol sialan," umpat Maximillian.

Maximillian menyalahkan alkohol yang mempengaruhi tindakan yang mereka lakukan. Sebagai seorang pria ia harusnya bisa mencegah hal itu. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia juga tidak tega menolak Mi Sun. Maximillian mengacak-acak rambutnya, berusaha meraih kesadaran. Ia meraih botol anggur dan meminumnya tanpa gelas, setidaknya alkohol bisa membuatnya lupa. 

Cukup lama Maximillian diam di balkon, menikmati sisa anggur hingga habis tidak bersisa. Maximillian sengaja mengulur waktu untuk masuk ke dalam kamar, ia merasa Mi Sun pasti butuh waktu untuk bisa terlelap dengan tenang. Maximillian perlahan membuka pintu, sebisa mungkin tidak membuat suara. Ia berjalan perlahan mengecek keadaan Mi Sun. Tidak ada pergerakan berarti dari wanita itu. Kedua matanya tertutup, gerak perlahan dadanya menandakan ia sudah terlelap dalam mimpi.

Maximillian memilih sofa sebagai tempatnya tidur malam ini. Ia tidak ingin membangunkan Mi Sun saat ia berbaring di sampingnya. Tatapan Maximillian tidak bisa lepas dari Mi Sun. Ia berbaring miring mengarah pada ranjang di mana Mi Sun tengah terlelap. Banyak hal yang muncul di pikirannya. Ia tahu dirinya mulai tertarik dengan Mi Sun, tetapi ada hal yang membuatnya menolak hal itu. Memang tidak adil bagi Mi Sun, namun akan lebih tidak adil jika ia melanjutkan tanpa lepas sepenuhnya dari masa lalu. Lelah dengan tubuh dan pikiran yang rumit membuat Maximillian menyusul Mi Sun ke alam mimpi.

Pagi ini terasa lebih tenang, tidak ada percakapan yang terdengar diantara dua orang manusia yang berada dalam ruangan yang sama. Mi Sun bangun terlebih dahulu, melihat Maximillian yang masih terlelap di atas sofa dengan rasa bersalah. Tubuh panjangnya harus terbaring tidak nyaman di atas sofa. Bahkan ujung kakinya harus meringkuk agar tubuhnya muat di dalam sofa kecil tersebut. 

Mi Sun bergerak perlahan berusaha seminimal mungkin menimbulkan suara. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beres dengan urusan kamar mandi, ia hanya duduk di atas ranjang, menatap Maximillian. Mi Sun memikirkan apa yang akan ia katakan pada pria itu saat bangun. Ia tahu bahwa pria itu tidak tertarik padanya, lantas kenapa ia sampai bisa mencium pria itu semalam.

"Apa yang akan kau pikirkan tentangku Max? Kau pasti berfikir aku wanita murahan. Atau kau menganggapku penipu yang menginginkan uangmu. Hah, apa yang harus kukatakan padamu nanti. Kau bodoh Mi Sun-ah, bisa-bisanya kau berbuat liar seperti itu kepada Max," gerutu Mi Sun pelan.

"Aku memang tidak paham apa yang kau ucapkan, tetapi jangan menyalahkan dirimu," ucap Maximillian dengan mata tertutup.

Mi Sun terkejut mendengar suara Maximillian. Ia tidak berharap Maximillian mendengar apa yang ia ucapkan. Untung saja ia mengomel dalam bahasa korea hingga pria itu tidak akan mengerti apa yang baru saja ia ucapkan.

"Max kau sejak kapan kau bangun?" 

"Suara gerutuanmu yang tidak kumengerti membuatku bangun."

"Maaf aku telah membangunkanmu," ucap Mi Sun atas perbuatan yang tidak ia sengaja.

"It's okay, kita juga harus segera kembali ke Bern sebelum terlalu siang."

Maximillian duduk, berusaha mengumpulkan nyawa untuk sadar sepenuhnya. Ia menatap Mi Sun membuat wanita itu salah tingkah. Mi Sun sontak menghindari tatapan mata Max, ia malu. Cukup lama tidak ada ada percakapan diantara mereka. Maximillian masih tetap memandang Mi Sun yang kini menundukkan kepala memainkan jari-jari tangannya. 

"Ada yang ingin kau katakan padaku Mi Sun?" tanya Maximillian mengakhiri kecanggungan yang terjadi.

"I'm sorry."

"Untuk apa?"

"Karena telah menciummu semalam." Mi Sun memberanikan diri untuk membahas apa yang telah terjadi diantara mereka.

"Apa kau lupa sekarang berada dimana?"

Mi Sun mengangkat kepalanya, melihat penuh tanya pada Maximillian.

"Bagi kami orang eropa ciuman seperti itu hanya seperti sebuah pelukan. Kau tidak perlu minta maaf padaku," jawab Maximillian mencoba untuk membuat Mi Sun lebih tenang.

Tetapi tidak bagi Mi Sun, ia menangkap hal lain dari perkataan Maximillian, pria itu tidak menganggap Mi Sun istimewa.

On Shoestring (Complete) Where stories live. Discover now