Trente

9 1 0
                                    

Menjadwal ulang jadwal penerbangan menjadi hal pertama yang dilakukan Mi Sun. Kepulangan yang ia rencanakan akhir minggu ini, ia percepat. Tuhan seolah mengizinkan apa yang menjadi keputusan Mi Sun, ia bisa mendapatkan jadwal penerbangan dengan mudah.

Selesai dengan urusan tiket pesawat Mi Sun, malam itu juga Mi Sun mengemas seluruh barang-barangnya ke dalam koper. Hampir semalaman Mi Sun mengepak semua barang. Dini hari Mi Sun baru merebahkan tubuhnya yang terasa remuk. Terlelap karena lelah fisik maupun batin.

***

"Kenapa kau tidak mengatakan padaku kau akan pulang malam ini," berang Maximillian.

Tanpa mengetuk pintu, Maximillian masuk ke kamar Mi Sun tanpa peduli apa yang sedang wanita itu lakukan. Mi Sun tersentak sedikit, lantas melanjutkan menutup koper. Ia susah payah menindih koper agar bisa menutup resletingnya dengan mudah.

"Aku bertanya padamu!"

Maximillian menarik lengan Mi Sun sedikit keras membuat wanita itu berdiri menghadapnya. Mi Sun berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman tangan Maximillian. Pria itu jelas tidak melepaskan Mi Sun begitu saja. Ia butuh penjelasan tentang apa yang Mi Sun lakukan sekarang.

"Apa aku harus mengatakan padamu kapan aku pulang?" tanya Mi Sun balik.

Mi Sun menyentak keras lengannya membuat cengkraman Maximillian terlepas. Ia kembali berkutat dengan koper miliknya. Maximillian tertunduk di samping Mi Sun, menahan tangan Mi Sun yang berusaha menarik resleting.

"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Jangan pergi," pinta Maximillian.

"Aku harus pulang Max. Di sini bukan rumahku. Sudah saatnya aku kembali," jelas Mi Sun pelan.

"Kau pulang karena kau kesal padaku bukan? Kumohon tetaplah di sini beberapa hari lagi. Ibuku sedih karena kau pergi secara mendadak seperti ini," bujuk Maximillian putus asa.

Mi Sun menarik napas dalam, menarik resleting dan menguncinya.

"Tidak terjadi apapun semalam. Sudah kukatakan bukan, sudah waktunya aku pulang. Aku tidak mungkin lebih lama lagi di sini," desah Mi Sun frustasi.

"Tapi, ibuku ...."

"Jangan jadikan ibumu alasan," potong Mi Sun, "lepaskan tanganku. Aku harus berpamitan dengan Anne," pinta Mi Sun pada tangan Maximillian yang menggenggam erat tangan kirinya.

Maximillian mengalah, ia melepaskan tangan kiri Mi Sun. Wanita itu mengangkat koper membuatnya berdiri. Maximillian hanya terdiam melihat Mi Sun bersusah payah mendorong dua keluar dari kamar. Ia sedang memikirkan alasan apa yang bisa menahan wanita itu untuk tidak pergi malam ini. Mi Sun meletakkan koper di dekat pintu, berjalan menuju ruang TV, mencari keberadaan Anne. Kosong. Tidak tampak keberadaan Anne di sofa yang biasa ia duduki. Mi Sun berjalan kembali menuju kamar Anne, mengetuk pintu untuk berpamitan. 

Sejak Mi Sun mengatakan bahwa ia akan pergi malam ini, Anne menghindarinya. Ia bahkan tidak menemui Mi Sun saat wanita itu menyelesaikan urusan mengemas barang di kamarnya. Mi Sun ingin berpamitan dengan layak. Bagaimana pun Anne Deluxe sudah seperti ibu bagi Mi Sun selama beberapa minggu di Paris. Tidak ada jawaban. Mi Sun kembali mengetuk pintu. Anne muncul di balik pintu, wajahnya tampak seperti menahan tangis tetapi tidak ada air mata yang keluar.

"Apakah sudah saatnya kau pergi sweetheart?"

Mi Sun sontak memeluk erat wanita paruh baya itu begitu mendengar getar dalam suaranya.

"Aku pasti akan merindukanmu Anne. Entah apa aku bisa merasakan masakan lezatmu lagi. Terima kasih kau sudah menjagaku selama ini. Kau yang terbaik," ucap Mi Sun tulus.

"Pintu rumah ini selalu terbuka jika kau berkunjung ke sini lagi. Ayo akan kuantar sebelum kau ketinggalan pesawat," tawar Anne.

"Tidak perlu. Aku bisa memesan taksi," tolak Mi Sun.

"Untuk terakhir kalinya apakah kau tidak ingin merepotkanku?" ucap Anne sarkas.

"Baiklah." Untuk terakhir kalinya Mi Sun ingin melakukan apapun keinginan Anne.

Anne mengisyaratkan Mi Sun untuk menunggunya sejenak. Ia dengan cepat menuju dapur, mencari sesuatu dalam kabinet. Anne memasukkan beberapa potong Paris-Brest ke dalam kotak bekal. Selesai memenuhi kotak dengan kue buatannya ia menemui Mi Sun yang sudah berada di depan pintu.

"Max!" teriak Anne memanggil putranya.

Maximillian keluar dari dalam kamar yang di tempati Mi Sun, tentu dengan wajah tidak senang.

"Ayo kita antar Mi Sun ke bandara!" ajak Anne, Maximillian mengangguk.

Sepanjang perjalanan banyak pikiran yang berkecamuk di dalam otak Maximillian. Tidak terhitung berapa kali Maximillian melihat ke belakang melalui kaca spion. Mi Sun yang tiada henti bercengkrama dengan Anne menikmati menit-menit terakhir mereka tanpa mempedulikan keberadaan Maximillian. Maximillian menghentikan mobil di depan loby keberangkatan internasional. Ia berlari mengambil troley untuk menurunkan koper Mi Sun dari dalam bagasi.

"Parkirkan mobilmu cepat. Kami akan menunggumu di dalam," perintah Anne saat semua koper sudah berada di dalam troley.

Dengan cepat Maximillian memasuki mobil kembali, melajukan mobil menuju tempat parkir. Mi Sun dan Anne memasuki bandara. Mi Sun langsung menuju counter untuk melakukan check in. Sementara itu Anne menunggu Mi Sun di bangku tunggu tidak jauh dari sana.

"Sudah beres?" tanya Anne saat Mi Sun duduk disampingnya.

Mi Sun sontak bergelayut manja pada Anne seolah tidak ingin berpisah dengan wanita itu. Anne balas membelai sayang rambut Mi Sun.

"Aku akan sangat merindukanmu," ucap Mi Sun hangat.

"Aku akan menemuimu kalau kau merindukanku. Kurasa akan sangat menyenangkan berlibur ke sana. Kudengar negaramu sangat populer beberapa tahun ini."

"Benarkah? Aku akan menunggumu. Aku akan mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang tidak akan kau lupakan," ucap Mi Sun antusias.

"Tentu, kau bisa mengajakku berkeliling nanti. Kurasa sudah waktunya kalian menyelesaikan apa yang terjadi diantara kalian Michelle. Aku tahu Max, dia tidak akan dengan sengaja menyakitimu. Nikmati waktu kalian, hati-hati semoga kau sampai dengan selamat." Anne memeluk Mi Sun erat sebelum beranjak dari tempat duduknya, mempersilahkan Maximillian yang datang mendekat. Anne mengelus lengan Maximillian memberikan kekuatan sebelum meninggalkan mereka untuk berbicara.

Maximillian duduk di samping Mi Sun hati-hati. Ia tidak berani memulai percakapan yang seharusnya terjadi diantara mereka. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan saat ini.

"Kurasa aku yang seharusnya minta maaf padamu. Aku tahu aku tidak berhak marah atas semua ini. Aku tahu kemarahanku padamu itu konyol. Kau bahkan bukan kekasihku, secara teknik kau tidak bisa dikatakan kau mengkhianatiku," jelas Mi Sun lirih.

"Namun aku dengan seenaknya memperlakukanmu seolah-olah kau telah berkhianat padaku," tambah Mi Sun.

"Tidak. Aku juga bersalah dalam hal ini. Aku tidak membereskan perasaanku terlebih dahulu ketika mulai menyukaimu. Hal ini justru menjadi sangat tidak adil bagimu. Satu hal yang pasti, aku tidak pernah bermain-main dengan apa yang telah kita lewati." Maximillian akhirnya bisa memberikan penjelasan logis tentang semuanya.

Mi Sun melihat papan pengumuman yang menampilkan jam keberangkatan setiap pesawat. Ia berdiri, pesawat yang akan ia tumpangi akan segera berangkat.

"Aku harus segera masuk Max," ucap Mi Sun.

Maximillian berdiri, mengekor di belakang Mi Sun menuju boarding gate. Mi Sun menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh menghadap Maximillian. Ia meraih kepala Maximillian, memberikan ciuman selamat tinggal yang manis.

"Aku pergi. Temui aku jika hatimu sudah sepenuhnya untukku," ucap Mi Sun usai melepaskan ciuman mereka.

Tanpa menoleh Mi Sun memasuki boarding gate. Maximillian terpaku melihat punggung Mi Sun yang semakin lama semakin menjauh.

~~~

The End

On Shoestring (Complete) Where stories live. Discover now