Vingt

9 2 0
                                    

Menara Eiffel menjadi nyonya besar yang wajib dikunjungi saat berwisata ke Paris. Ribuan orang selalu memenuhi area pelataran Menara Eiffel setiap harinya. Menurut sebagian orang Eiffel akan tampak semakin cantik saat malam hari. Lampu-lampu indah mengelilingi seluruh menara, berkelap-kelip indah setiap jamnya.

Mi Sun hanya memandang saat lampu Eiffel berkerlap-kerlip di saat beberapa orang sibuk mengabadikan di sekitarnya. Ada beberapa rumor yang Mi Sun dengar terkait mengambil gambar Menara Eiffel pada malam hari. Ia cukup menikmati indahnya atraksi Eiffel tanpa merekam. Maximillian sendiri memilih menghabiskan sisa makan malam di piringnya.

"Jadi apakah aku boleh berpikir kau tertarik padaku?" ucap Mi Sun menyambung percakapan serius mereka setelah terjeda selama lima menit.

"Well bagaimana aku tidak tertarik jika pertemuan pertama dan kedua kita sangat mengesankan," jawab Maximillian mengingatkan bagaimana pertemuan pertama mereka.

Mi Sun tertawa lepas, ia mengingat dengan jelas bagaimana ia mengira orang yang mengembalikan ponsel dan dompetnya adalah sopir taksi. Bahkan di pertemuan kedua mereka pun, Mi Sun masih saja salah menduga Maximillian seorang tour guide, konyol sekali.

"Seorang tour guide? Apakah wajah ini tampak seperti seorang tour guide bagimu?" tunjuk Maximillian pada wajahnya.

Mi Sun berpura-pura menilik wajah Maximillian, mencari bagian mana dari wajah tampan itu yang cocok sebagai seorang tour guide.

"Kau memiliki sorot mata seorang tour guide," ucap Mi Sun serius.

Maximillian memicingkan kedua matanya. Bingung dengan pernyataan yang diucapkan Mi Sun.

"Dengan setelah jas rapi, ada beberapa orang berjejer di belakangmu. Jadi wajar kalau aku mengira kau tour guide dari travel besar," tambah Mi Sun.

"Dimana kau melihat tour guide pakai jas?" tanya Maximillian heran dengan pola pikir Mi Sun.

"Memang belum pernah. Hanya kukira karena ini Paris jadi semua berpenampilan rapi," cengir Mi Sun membuat Maximillian geleng-geleng kepala.

Mi Sun melanjutkan makan malamnya. Ia menghabiskan sisa Coq au Vin, hanya tinggal beberapa potong sebelum ia menghabiskan daging ayam yang dimasak dengan anggur merah. Maximillian mengikuti Mi Sun, menyantap potongan terakhir daging di piringnya.

"Sudah selesai?" Mi Sun mengangguk mengiyakan.

"Ayo," ajak Maximillian.

Maximillian mengemudikan mobil mendekati kawasan Menara Eiffel. Mi Sun tidak memprotes, ia hanya mengikuti kemana pun Maximillian membawanya. Maximillian memasuki kawasan pelataran Menara Eiffel, memarkirkan mobil dan mengajak Mi Sun turun.

"Kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang," ucap Maximillian.

"Sure."

Maximillian memimpin Mi Sun, berjalan menuju loket tiket. Tiket yang Maximillian beli hanya sampai di lantai dua. Ia tidak ingin Mi Sun takut jika naik sampai puncak. Ia rasa dari lantai dua pun pemandangan kota Paris sudah sangat menakjubkan.

"Kau sudah pernah kemari?" tanya Maximillian saat mereka keluar dari lift.

"Hanya sampai saja," tunjuk Mi Sun pada lapangan berumput di depannya.

"Kenapa?"

"Satu karena berhemat tentunya, melihat menara ini dari kejauhan sudah cukup bagiku."

"Dan yang kedua?" tanya Maximillian kembali.

"Karena aku sendirian. Aku pernah membaca, jika kau ke Menara Eiffel janganlah sendirian. Kau akan merasa kesepian. Dan kurasa memang benar. Pemandangan secantik ini sayang jika aku harus menikmatinya seorang diri," ucap Mi Sun.

Menikmati kota Paris dari ketinggian 115 meter seolah melihat lautan cahaya yang indah. Jalan-jalan tampak seperti sungai yang dialiri cahaya. Meski angin berhembus cukup kencang, Mi Sun tidak ingin beranjak dari pinggir pagar.

"Sekarang giliranmu bercerita," pinta Maximillian.

"Aku?" Mi Sun menoleh mempertanyakan pendengarannya.

"Ya, kau. Ceritakan bagaimana kau bisa berlibur kemari. Karena sepertinya kau punya tujuan lain selain berlibur," ungkap Maximillian.

"Kau benar. Sebenarnya aku melarikan diri."

"Melarikan diri? Kau buronan?" tanya Maximillian kaget.

"Tidak, bukan seperti itu." Mi Sun tertawa melihat betapa terkejutnya Maximillian.

"Aku melarikan diri dari kehidupanku sebelumnya. Meski hanya sejenak, aku merasa harus pergi agar aku bisa hidup."

"Jadi ada yang mengancammu? Apa kau terlilit hutang?"

"Tidak Max. Hanya saja hidup di korea tidak semudah yang dibayangkan orang, mungkin di hampir setiap kota besar. Aku memang tidak hidup dalam kekurangan, tetapi aku juga bukan orang kaya. Setidaknya aku tidak terlilit hutang," ucap Mi Sun sambil tersenyum.

"Aku punya pekerjaan yang cukup bagus, gajinya pun cukup untuk menyewa apartemen di tengah kota dan kebutuhan sehari-hari. Namun tekanan dalam pekerjaan membuatku tertekan. Persaingan tinggi dalam dunia pekerjaan membuatku merasa harus pergi agar aku tidak menjadi gila dan berakhir mengakhiri diri hidup. Jadi disinilah aku, setelah hampir dua tahun berhemat dan menabung aku terbang ke Paris setelah mengirim surat pengunduran diri."

"Kenapa Paris?"

"Karena Paris pusat mode dunia."

"Kau bekerja di dunia fashion juga?"

"Aku seorang make up artist profesional. Dunia yang tidak lepas dari dunia mode. Sebenarnya aku juga ingin keliling Eropa. Tapi sepertinya keuanganku tidak sebagus itu. Ada beberapa yang harus aku beli untuk memulai pekerjaanku nanti." jelasnya sedih.

"Bukankah kau mengatakan sudah mengundurkan diri?"

"Ya benar. Aku dulu hanya seorang pegawai di salah satu salon mewah. Sepulang dari sini, aku ingin menjadi seseorang yang baru, aku ingin dikenal sebagai Kim Mi Sun seorang make up artist profesional, bukan sebagai pegawai dari salon mewah. Memang tampak seperti mustahil dengan banyaknya make up artist lain yang jam terbangnya lebih tinggi. Namun aku ingin mencoba, menjadi diriku sendiri. Aku pun berusaha menjaga hubungan baik dengan pelanggan yang kuharap bisa menjadi media promosi yang baik."

"Apa kau tidak ingin memulai karir di sini? Kau fasih berbahasa Inggris dan kau juga sedikitnya mengerti Bahasa Perancis," tawar Maximillian.

Mi Sun berpindah, berjalan ke lain sisi. Melihat kota dari sudut pandang yang lain. Maximillian mengikuti kemana perginya wanita itu.

"Ce sera difficile monsieur. Untuk memulai solo karier di negaraku sendiri saja sulit, apalagi di negara orang."

"Setidaknya kau memiliki kemampuan lebih dalam hal bahasa."

"Ya, memang aku mempelajari Bahasa Inggris salah satu tujuannya agar aku bisa memiliki nilai lebih selain kemampuan yang aku miliki. Aku sadar dengan banyaknya warga asing yang mulai berdatangan ke korea, aku setidaknya harus bisa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa international."

"Bagaimana dengan Perancis, apa yang membuatmu mempelajarinya?"

"Ah, itu hanya suatu kebetulan belaka. Salon tempatku bekerja berada di lingkungan di mana banyak orang Perancis yang menetap di sana. Aku hanya mempelajari sedikit dari pelangganku."

"Kau pintar Mi Sun," puji Maximillian tulus.

Semakin malam angin terasa semakin kencang menerpa kulit mereka. Meski musim panas, angin kencang membuat Mi Sun sedikit kedinginan dengan baju tanpa lengan yang ia kenakan. Maximillian menyadari gelagat Mi Sun yang berkali-kali menggosok lengannya. Ia melingkarkan lengan, memeluk Mi Sun untuk memberikannya kehangatan.

"Jangan salah paham, karena aku tidak membawa jaket, aku hanya bisa memelukmu agar kau tidak kedinginan."

Mi Sun tersenyum dengan tingkah lucu Maximillian. Ia diam di pelukan hangat Maximillian menikmati indahnya kerlap-kerlip lampu kota.

"Ayo kita cari wine untuk menghangatkan diri."

"Aku tidak ingin menciummu lagi Max," tolak Mi Sun diiringi tawa renyah Maximillian.

On Shoestring (Complete) Where stories live. Discover now