Memasukkan motor ke dalam garasi, Ghava masuk ke dalam rumah. Dia rebahkan tubuhnya ke atas sofa ruang tamu.
Entah apa yang Ghava pikirkan, sesaat setelah menangis tiba-tiba matanya menutup. Cowok itu ketiduran.
Seorang anak lelaki menatap Ghava sendu, tangannya terulur seolah minta diraih oleh Ghava. Anak itu memangis tanpa suara.
Perlahan Ghava membalas uluran tangan, namun tiba-tiba tubuh anak kecil itu seolah menjauh. Pegangan tangan Ghava pada anak itu terlepas. Ghava mendelik panik, tubuhnya mendadak tak bisa digerakkan.
"Gibran? Gibraaaannnn...!!!"
"Abang jahat! Abang gak sayang Gibran! Abang udah biarin Gibran pergi, Abang udah buang Gibran!"
Mata Ghava terbuka lebar, sontak dia langsung duduk. Napas cowok itu tidak beraturan. Keringat dingin membasahi tubuh usai terbangun dari mimpi buruk.
Ghava merindukan adiknya.
"Sialan!" umpat Ghava menendang kaki meja. "Tuhan serius gak, sih, ngasih gue takdir kampret kek gini?"
"Ortu jahat, pacar jahat, dunia jahat. Kenapa, gitu, semua jahat sama gue? Mau bilang Tuhan juga jahat tapi takut dosa. Sial-sial!" oceh Ghava.
Berdiri dari sofa, cowok itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.15 malam. Menghela napas, Ghava berjalan menuju kamar mandi seraya mengacak rambut dengan lelah.
Rupanya Ghava mengambil air wudu. Begitulah Ghava, senakal-nakalnya dia, masih mengingat Tuhan di hati kecilnya. Meski ibadahnya belum sempurna, sholat pun bolong-bolong, tapi malam ini Ghava nekat sholat tahajud.
Ada Doa penting yang ingin Ghava panjatkan pada Tuhan.
"Maaf, Ya Allah, kalo Ghava terlihat gak tahu diri. Nemuin Allah pas lagi butuh doang. Tapi sumpah, deh, Ghava udah berusaha gak ninggalin sholat. Tapi apa daya, Jin terus goda Ghava buat ngelakuin maksiat," ucap cowok itu sembari menggelar sajadah.
Ya begitulah aduan Ghava kepada Tuhannya. Meski sadar Tuhan maha tahu segalanya, masih saja mencari alibi untuk membela diri.
Mungkin Jin di kamar Ghava sedang mengomel sekarang. Kemauan yang nentuin dia sendiri, eh yang disalahin tetep mereka, bangsa Jin.
Selesai memasang sarung, ia menyugar rambut basahnya ke belakang, Ghava memakai peci. Lantas mulai bersiap mengambil napas.
"Ushallii sunnatan tahajjudi rak’ataini mustaqbilal qiblati lillahi ta’alla."
"Allaahu Akbar ...."
Cowok itu menjalankan sholat tahajud. Menyelesaikan rakaat kedua dan salam, Ghava melanjutkan dengan berzikir.
Jika melihat Ghava seperti ini, rasanya sangat tenang. Hati jadi adem. Apalagi pas liat mulut komat-kamit membaca zikir dengan tatapan kosong menghayati, Ghava terlihat seperti anak santri yang sangat polos.
Nah kalo gini kan gantengnya terpancar sempurna. Sering-sering, deh, ya, Ghava.
"Ya Allah, tolong lindungi Fania di manapun dia berada. Buka hatinya untuk mengambil keputusan yang tepat dan terbaik menurutmu. Kasihan anak Herlambang, Ya Allah. Dia gak minta ada, tapi kejam banget kalo tiba-tiba dia kehilangan nyawa sebelum lihat dunia. Ghava mohon, Ya Allah, untuk kali ini kabulin permintaan Ghava. Andai seumur hidup Ghava cuma dikasih satu kesempatan Doa yang bakal dikabulin, doa Ghava cuma itu. Aamiin!"
***
Kumandang suara Azan subuh dari Masjid komplek mambangunkan tidur pulas Ghava. Tumben cowok itu terbangun. Padahal Ghava adalah tipe orang yang kalo tidur sudah seperti simulasi mati.
YOU ARE READING
ALGHAVA
Teen FictionTak pernah terlintas di pikiran Leona Marseille, bahwa dia akan berurusan dengan sosok pemimpin geng motor paling ditakuti di kotanya, yang tak lain adalah kakak kelasnya sendiri. "Maaf, Kak...." "Gue gapernah mau nerima kata maaf dari siapa pun. Ja...